BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Peradaban
Islam mulai di bangun oleh Nabi Muhammad saw, ketika berhasil merumuskan
masyarakat Madani dan Piagam Madinah,
kemudian di lanjutkan oleh Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn
Khattab, Utsman Ibn Afffan, dan Ali Ibn Thalib) sistem yang di kembangkan pada
saat itu adalah sistem demokrasi di mana pucuk pimpinan di pilih melalui
Musyawarah
oleh beberapa orang yang di tunjuk oleh kaum muslimin atau khalifah sebelumnya,
pasca meninggalnya Ali dan naiknya Muawiyah, sistem pemerintahan dalam Islam
berubah dratis dari sistem kekhilafahan ke Monarkhi Absolut. Monarkhi Absolut
di buktikan dengan di pilihnya Yazid sebagai putra mahkota, kemudian mengangkat
dirinya sebagai Kholifah fi Allah, mulailah babak baru dalam
pemerintahan Islam dan berlangsung terus menerus sampai kepada Khalifah Turki
Usmani sebagai konsep pemerintahan Khalifah (penguasa dan pemimpin tertinggi
rakyat)
terakhir dalam dunia Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak
kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah –
naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian
pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan
terbentuknya madzhab- madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari
kebebasan berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat laun
mengalami kemunduran sebab – sebab kemunduran Dinasti ini di latar belakangi
oleh faktor internal dan eksternal.
Imperium kedua Islam ini muncul
setelah terjadi revolusi sosial yang di peroleh oleh para keturunan Abbas dan
di dukung oleh kelompok oposisi yang membrontak kepada kekuaasan Bani Umayyah
seperti Syiah, Khawarij, Qodariyah, Mawali (non –Arab) dan suku Arab
bagian Selatan.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana poses munculnya dinasti
Abbasiyah?
b. Kemajuan apa saja yang telah
diperoleh pada masa dinasti Abbasiyah?
c. Apa sebab berakhirnya dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui proses pengangkatan, perkembangan politik dan pemerintahan
Dinasti Abbasiyah
2.
Untuk mengetahui proses pengangkatan, perkembangan politik dan pemerintahan
Dinasti Abbasiyah
3.
Untuk mengetahui perkembangan kebudayaan dan peradaban pada masa Dinasti
Abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Munculnya Dinasti Abbasiyah
Perjuangan
Bani Abbas untuk keluar dari bayang- bayang Dinasti Umayyah secara intensif
baru di mulahi berkisar antara 5 tahun menjelang revolusi Abbasiyah. Pelopor
utamanya adalah Muhammad Ibn Ali al-Abbas di Hamimah. Ia telah banyak belajar
dari kegagalan Syiah di karenakan kurang terorganisis perencanaan perlawanan.
Selain itu secara politik
kekuatan Syiah hanya terpusat di Kufa, yang notabene tidak bisa bergerak secara
leluasa. Dari itulah kemudian Abbas mengatur pergerakanya secara rapi dan
terencana sama seperti konsep gerakan- gerakan pada masa sekarang. Di mana
harus di mulai dari perencanaan isu politik yang matang, kemudian bergerak
secara sistematis dan taktis.
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai
melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis,
diantaranya; Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat
menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua,
membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi
ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah. Ketiga, ide
tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda
itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal
tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan
dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa
melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil
berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan
Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para
pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn
Ali. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan
pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut
sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah.
Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang
dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas
adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan
menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan
mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena
objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene
merupakan basis kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan
menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh
Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat
al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal
tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai
tahun 749 M karena diketahui oleh Marwan Ibn Muhammad (Khalifah Bani Umayyah),
Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan di Harran, sebelum dieksekusi, Ibrahim telah
menyerahkan kepemimpinan kepada keponakannya Abdullah Ibn Muhammad dan
memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah ke Kufah, maka pindahlah
mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang lain seperti Ja’far, Isa Ibn
Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu
Salama. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah berlangsung.
Pimpinan Bani Umayyah di Kufa, Yazid
Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan oleh Abu Salama pada tahun 132 H dan diusir ke
Wasit, selanjutnya Abdullah Ibn Ali diperintahkan mengejar Khalifah Umayyah
terakhir Marwan Ibn Muhammad bersama pasukannya melarikan diri, dan dapat
dipukul di dataran rendah Sungai Zab (Tigris), pengejaran dilakukan ke Mausul,
Harran, dan menyebrang Sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Kemudian Marwan
melarikan diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir tahun 132
H/750 M di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman Abbas yang lain.
Dengan kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah Dinasti Abbasiyah sebagai
pengganti Dinasti Umayyah.
B. Suksesi Kepemimpinan
Abdullah Ibn Muhammad alias Abu
Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. dalam
khutbah pelantikan yang disampaikan di masjid Kufah, ia berjanji akan
memerintah sebaik-baiknya dan melaksanakan syariat Islam. Selain itu ia menyebut
dirinya dengan as-saffa (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal
ini sebenarnya akan menjadi preseden yang buruk bagi suatu kekuasaan, dimana
kekuatan tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai alat pembenar
bagi kebijakan politiknya. Ini tentu bertentangan dengan tugas ideal seorang
penguasa adalah :
- Memelihara
iman dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama dengan suara bulat
oleh Ulama-ulama salaf dari umat Islam.
- Menegakkan hokum terhadap para pelanggar hokum
dan memecahkan masalah secara adil terhadap orang-orang yang sedang
berselisih.
- Mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa
hidup tenang dan aman, baik di rumah, di perjalanan maupun di waktu
melaksanakan tugas sehari-hari.
- Melindungi hak-hak perorangan dari penduduk serta
menegakkan hokum sesuia dengan hokum Islam hingga setiap kejahatan
terhadap Allah dapat ditekan hingga titik yang amat terbatas.
- Menjaga perbatasan Negara dengan berbagai
pelaralatan yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar.
- Berjuang melawan orang-orang yang melawan Islam,
hingga kebenaran Allah bersinar di seantero wilayah itu.
- Memungut pajak dan mengumpulkan zakat sesuai
dengan aturan syari’ah.
- Mengatur anggaran belanja untuk gaji
karyawan/pejabat. Dan pembelanjaan lain tanpa boros atau pelit.
- mengangkat pegawai secara jujur berdasarkan
keahlian seseorang dalam posisinya (tidak kolusi) agar tercapai kelancaran
pemerintahan dan kemakmuran.
- Mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama
menguji para pelaksana tugas-tugas kemasyarakatan hingga mampu mengarah
pemerintahan untuk melindungi bangsa dan agama.
Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H-656 H. selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan
budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, pemerintahan
Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode :
- Periode
I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama,
Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur
136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193
H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H,
al-Watsiq 227-232 H.
- Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut
masa pengaruh Turki pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil
232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz
252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 –
289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H,
ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
- Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut
kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa
pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’
334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
- Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut
masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa
pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H,
al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H,
ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H,
al-Mustadhi’ 566-575 H.
- Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut
masa khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar
di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah
an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H,
al-Musta’shim 640-656 H.
Kebijakan politik as-Saffah yang
pertama pada masa pemerintahannya adalah membasmi keluarga Bani Umayyah yang
masih tersisah dengan cara mengerahkan segenap pasukan yang dipimpin oleh
pamannya sendiri Abdullah Ibn Ali. Hal ini dilakukan untuk mereformasi semua
sistem Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran Islam murni (Syariat Islam).
Karena dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler. Selain itu karena terlalu
benci sampai-sampai mereka juga membongkar semua kuburan Bani Umayyah dan
jenazahnya di bakar. Hanya ada dua kuburan yang selamat dari kekejaman tersebut
yaitu kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena dianggap sebagai sahabat Nabi dan
Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa pemerintahannya menerapkan keadilan dengan
seadil-adilnya. Disamping itu Ia juga memberikan sebuah lahan di Hamimah untuk
digunakan oleh keluarga Abbas, sehingga bisa melancarkan propaganda dengan
sebaik-baiknya pasca meninggalnya. Dan dari revolusi itu pulah hanya satu orang
yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman ad-Dakhil, kemudian mendirikan
sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya memerintah selama 4 tahun, setalah
meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil alih oleh adiknya Ja’far al-Mansur
setalah dapat menyingkirkan pamannya Abdullah Ibn Ali, yang juga berusaha
menjadi khalifah.
Ketika naik tahta langkah yang
dilakukan oleh al-Mansur adalah menindak tegas pemberontak yang dilakukan oleh
golongan Syi’ah yang merasa disingkirkan pasca naiknya as-Saffah, pemberontakan
yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan yang tidak mau tunduk kepada pusat,
penduduk Syiria yang masih tunduk kepada pemerintahan Dinasti Umayyah dan
orang-orang yang kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini dapat dikatakan
sebagai masa perjuangan dan konsolidasi untuk mengamankan eksistensi Dinasti
Abbasiyah. Berkat visi politik dan pendekatan pragmatis yang dilakukan oleh
al-Mansur, maka terjadi kestabilan pemerintah dapat terjaga. Kemudian al-Mansur
mengangkat putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk menggantikan posisinya
kelak ketika Ia meninggal sebagaimana perjanjian dengan as-Saffah. Sebenarnya
tradisi ini sudah ditanamkan oleh Muawiyah ketika mengangkat anaknya Yazid.
Padahal sejarah membuktikan bahwa dari tradisi ini muncul kecemburuan sosial
yang menyebabkan terjadi ketidakpuasan dan berakhir pada pemberontakan
dibeberapa daerah, terutama dari kalangan Syi’ah dan Khawarij. Pola seperti ini
juga membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan kembali sistem Monarkhi
Absolut yang dulu dipraktekkan oleh kerajaan Persia, Romawi. Setelah dapat
memperkokoh kekuasaan Abbasiyah al-Mansur meninggal karena sakit dalam suatu
perjalanan Haji kelima bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia
meninggal dalam usia 65 tahun setelah memerintah selama 21 tahun
Pemerintah
Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya al-Mahdi, yang baru berusia 30 tahun.
Al-Mahdi memulai zaman pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan,
kecuali penjahat yang dipenjarah menurut Undang-Undang dan memberikan bantuan
cara hidup kepada orang-orang yang masih dipenjara dan yang anggota tubuhnya
cacat. Kemudian memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan Haram dan
Masjid Nabawi dan memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan besar beserta
kolam-kolam di sepanjang jalan menuju Mekkah sebagai tempat persinggahan para
musafir dan mebangun pos yang menghubungkan Baghdad dengan wilayah Islam
lainnya. Selain itu, al-Mahdi juga membuat posko pengaduan dan penganiayaan
serta mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada pemiliknya
Kemudian menunpas gerakan
al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu sebuah kelompok yang ingin menuntut balas atas
kematian Abu Muslim al-Khurasan dan merampas kekuasaan Abbasiyah. Lalu al-Mahdi
mewariskan jabatan khalifah kepada anaknya al-Hadi dan Harun ar-Rasyid, tetapi
keinginannya itu terhalang oleh Isa Ibn Musa. Berkat jabatan putra mahkota
inilah Isa Ibn Musa mengalami dua kali kekejaman yaitu pada masa al-Mansur dan
al-Hadi. Setelah dipaksa, ditanggalkanlah gelar tersebut oleh Isa Ibn Musa,
maka al-Mahdi melantik anaknya al-Hadi sebagai putra mahkota pada 160 H dan
dilanjutkan melantik Harun ar-Rasyid tahun 166 H
dari sini dapat kita pahami bahwa cara-cara kekerasan merupakan alternatif
utama yang diambil oleh Dinasti Abbasiyah dalam menyelesaikan setiap masalah
yang dihadapi terutama masalah-masalah politik. Padahal hal ini jelas
bertentangan dengan agama Islam dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah al-Mahdi mangkat, kekuasaan
Abbasiyah digantikan oleh al-Hadi 169-170 H, langkah awal yang dilakukan
al-Hadi adalah melantik ar-Rabi’ Ibn Yunus sebagai menteri, tetapi beberapa
waktu kemudian ar-Rabi’ Ibn Yunus digantikan oleh Ibrahim Ibn Zakuan al-Harrani
dan bagaimana melenyapkan Harun ar-Rasyid agar mau menanggalkan gelar putra
mahkota sehingga anaknya Ja’far dapat menggantikannya kelak. Salah satu sifat
penguasa adalah bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar disekitar
garis keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus dipertahankan
mati-matian, jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan al-Hadi
tidak berumur panjang hanya satu tahun, karena al-Hadi di racun oleh ibunya
Khaizuran yang lebih menginginkan Harun ar-Rasyid sebagai penguasa. Harun
ar-Rasyid 170-193 H naik tahta menggantikan al-Hadi pada usia 22 tahun.
ar-Rasyid merupakan puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah. Dimana ilmu
pengetahuan berkembang luas, kekayaan melimpah, dan stabilitas pemerintahan
terkendali, ditambah lagi kebijakan pembagian kekuasaan yang adil antara putra
mahkotanya yaitu al-Ma’mun untuk wilayah Khurasan, wilayah Irak untuk al-Amien
dan semenanjung Arab untuk al-Qasim.
Dalam masalah pemerintahan,
ar-Rasyid dibantu oleh seorang Wazir yang bernama Yahya bin Barmak, terutama
setelah ibunya Khaizuran meninggal dunia pada 3 tahun kekuasaan khalifah. Yahya
bin Bermak dibantu juga oleh kerabat dan keluarganya. Berkat dirinya,
orang-orang Bermak dapat menguasai dapat menguasai pemerintahan Abbasiyah
hingga beberapa tahun
Ar-Rasyid meninggal ketika menumpas
pemberontakan yang terjadi di Khurasan yang dipimpin oleh Rafi’ Ibn Laith.
Namun sebelumnya ar-Rasyid sudah melantik al-Amien sebagai penggantinya di
Baghdad dan Yahya Ibn Sulaiman untuk menjalankan urusan pemerintahan.
Al-Amien melanjutkan estapet
kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dari tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan
perhatian kepada pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan
berpoya-poya. Ketika dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan
Tahir Ibn al-Husain dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya
dan kemudian terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung
digantikan oleh al-Ma’mun (198-218). Karena memperoleh kekuasaan dengan cara
kekerasan, maka pada awal kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong
terutama pasca kepindahannya dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat
diatasi, bahkan kekuasaan al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun
ar-Rasyid. Pada masa ini juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab
nasional. Al-Ma’mun wafat sewaktu berperang di Tursur pada usia 48 tahun. Namun
sebelumnya ia sudah melantik saudaranya al-Mu’tashim sebagai putra mahkota yang
akan menggantikannya.
Pasca meninggalnya al-Ma’mun
kekuasaan Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi
orang-orang Turki dan Persia, sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan
Baghdad. Puncaknya pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat
panglima besar Ashar yang berkebangsaan Turki
dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil merdeka di sekitar Baghdad.
C.
Kemajuan
Dinasti Abbasiyah
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai
disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat
kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat
oleh Dinasti Abbasiyah adalah :
Ø Bidang
Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan
yang dilakukan oleh Dinasti
- Memindahkan
pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad
sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan
“kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai
keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad
sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah
dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz
sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul
Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah,
sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
- Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris
Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
- Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu
sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa
propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir
atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas;
yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan
kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk
mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk
melawan Baghdad.
- Membentuk Amirul Umara yaitu panglima
besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam
keadaan darurat.
- Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara
membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan
Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan
Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah
yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu
cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah,
pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah,
pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing
khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk
khalifah.
- Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil
Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan
kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai
Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang
mengetuai Pengadilan Negeri).
Ø Bidang
Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan
Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah.
Khalifah al-Mansur adalah tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan
dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul
Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah
membangun sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir
sampai teluk Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak
terjangkau irigasi. Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik
agama, dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia,
sedangkan Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota
transit perdagangan antar wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China,
dan nusantara dan wilayah Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum
ditemukan jalan laut menuju Timur melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Selain itu, barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah Timur
diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian Barat. Di kerajaan
ini juga, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain Linen di Mesir,
Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di Samarkand, serta hasil-hasil pertanian
seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari Irak.
Ø Lembaga dan
Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah
pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga
ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama
serta tempat penngajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah),
tempat berdiskusi dan Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga
dilengkapi dengan ruangan perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam
disiplin ilmu. Disamping itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan
berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi
pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke
masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya
ilmu pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah
(lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.Maka
pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori
oleh Nizhamul Muluk.
Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah.
Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan
kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang
ilmu pengetahuan.
Ø Gerakan
Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada
awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga
membangun kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk
Islam seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi
kafilah dengan baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan
politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani
seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic
karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya Euclid. Manuskrip lain
yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia
Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H)
seorang penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan
baru yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat
memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan
sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim
penerjemah yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq
anaknya dan Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa,
Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian,
Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan
naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan
seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas
bahasa Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
Ø Baitul
Hikmah
Baitul
Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur
Academy yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi
pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk
raja, pada masa Abbasiyah intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun
ar-Rasyid intitusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang
berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun
mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa
ini juga, Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai
tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan
Ethiopia dan India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan
studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di
institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang
al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan
adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
Ø Bidang
Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode
tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil
al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn
Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad
Ibn Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal
ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti,
Shahih, Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad,
dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi yang
meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah; Imam
Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w 275
H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’
al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi tentang Fiqh Syi’ah
Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang hakim
agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris
as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu
kalam, lahir para filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi,
Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu
Kalam, Mu’tazilah pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan
al-Ma’mun. diantara ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail
al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang
dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa
yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani,
Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah
Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208
H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat
terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang
terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali
(w. 502 H), dan lain-lain.
Ø Kemajuan
Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat
Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan
teknologi adalah a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia
adalah astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk
mengukur ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam
lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam
dan al-Tusi. b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah
Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M,
tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina. c). Ilmu Kimia, bapak
kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang
hidp pada abad ke 12 M. d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama
abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir
al-Tabari. Kemudian ahli Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H).
Kebangkitan Intelektual
Gerakan membangun ilmu
secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Manshur, setelah ia
mendirikan kota Bagdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibukota negara.
Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal
di Bagdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir,
tauhid, hadits, atau ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi
yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang dari luar.
Pada masa itu hidup
para filsuf, pujangga, ahli baca al-Qur’an, dan para ulama di bidang agama.
Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat
membaca, menulis, dan berdiskusi.[22][25] Berkembanglah ilmu
pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’an, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam,
bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqih tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti
Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150 H/667 M) adalah
pendiri Madzhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak menulis hadits dan pendiri
madzhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204
H/819 M) adalah pendiri Madzhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab
Hanbali (wafat tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar,
aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.
Dinasti Abbasiyah
dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat
ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat
disebutkan sebagai berikut:
Perkembangan Bidang Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu
yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadits), yaitu ilmu yang berhubungan
dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun perumusannya pada sekitar 200
tahun setelah hijrah Nabi sehingga
menjadi ilmu yang kita kenal sekarang, antara lain ulumul qur’an, ilmu tafsir,
hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqih.
Perkembangan Bidang Ilmu Aqli
Ilmu-ilmu umum masuk ke
dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa
Arab, di samping bahasa India Pada tahun 856 M khalifah al-Mutawakkil
mendirikan Sekolah Tinggi Terjemah di Bagdad yang dilengkapi dengan museum
buku-buku.
Gerakan penerjemahan
berlangsung dalam tiga fase.
1.
Fase pertama pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid, pada
fase ini banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2.
Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H,
buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran.
3.
Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Selanjutnya bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.]
Dengan kegiatan
penerjemahan itu, sebagian karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta karangan
dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan mengenai ilmu pengetahuan
Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Bertolak dari buku yang
diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin mengembangkan penelitian
dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah
berkembang masa itu serta malakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan
eksperimen serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang tidak
bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu dimulailah pembentukan
ilmu-ilmu Islam di bidang aqli, yang sering disebut Abad Keemasan yang
berlangsung antara 900-1100 Masehi.
Dalam bidang ilmu aqli antara lain berkembang berbagai kajian dalam bidang
filsafat, logika, metafisika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika,
astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
1)
Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa Dinasti
Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa
Arab. Para Filsuf Islam antara lain:
a)
Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.
b)
Abu Nashr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia
memperoleh gelar al-Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru
kedua, sedang guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles.
c) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang
menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf
Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal
adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon of Medicine).
d) Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam,
karyanya antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut
Al- Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
e) Ibnu Rusyd di Barat terkenal denga Averros (1126-1198 M). Ia seorang
filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah,
Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
2)
Ilmu Kedokteran
Pada Masa Abbasiyah Ilmu kedokteran berkembang pesat, rumah sakit dan
sekolah kedokteran banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran ternama adalah
a) Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (w. 242 H), seorang ahli farmasi di rumah
sakit Jundishapur Iran.
b) Abu Bakar Ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
c) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thib
tentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.
d) Ar-Razi, adalah tokok pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles, Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
3)
Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya
dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah
Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu
hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab
karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan
seterusnya.
Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas
(940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4)
Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar,
karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami
Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
5)
Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari
berbagai bangsa seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu Falak
Jahiliyah. Diantara ahli astronomi Islam adalah:
a)
Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat
Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
b)
Jabir Al-Batani (w. 319 H). Ia adalah pencipta teropong bintang pertama.
Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai
Al-Falak.
c)
Raihan Al-Bairuni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina
At-Tanjim.
6)
Geografi
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa
Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga.
Di antara wilayah pengembaraan umat adalah umat Islam mengembara ke Cina dan
Indonesia pada masa-masa awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi
yang terkenal adalah
a) Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan
perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj
Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
b)
Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli
geografi Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik,
tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
c)
Ahmad El-Ya’kubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke
Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
d)
Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamdani (w. 334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu
Jazirah Al-Arab.
7)
Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh
sejarah antara lain:
Ahmad bin Ya’kubi (w. 895 M) karyanya adalah Al-Buldan
(negeri-negeri) dan At-Tarikh (sejarah).
8)
Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan.
Para tokoh sastra antara lain:
a)
Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
b)
An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah
buku cerita Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke
dalam hampir seluruh bahasa dunia.
D.
Kemunduran
Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan
runtuhnya Dinasti Abbasiyah, yaitu faktor Internal (dari dalam sendiri),
dan faktor Eksternal (dari luar). Faktor internal diantaranya.
Pertama, perebutan kekuasaan antar keluarga merupakan pemicu awal yang
akhirnya berimplikasi panjang terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama
suksesi setelah Harun ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun yang
memicu perang sipil besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah dan control terhadap provinsi-provinsi di bawah kekuasaan Abbasiyah.
Selanjutnya dari perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak kompeten,
ditambah lagi terjadi pemisahan antrara agama dan politik. Akibatnya terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dengan cara hidup dalam kemewahan dan pesta pora di
Istana karena agama tidak lagi menjadi pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki
4000 orang selir semuanya pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz
(Khalifah ke-13) menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi
ketika konsep khalifah digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi
keahlian kepemimpinan yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama.
Sehingga keberhasilan raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan kewibawaan
moral di hati rakyat, walaupun mereka mampu menaklukan rakyat dengan kekuasaan
dan kekuatan, dan mengeksploitasi mereka demi tujuan politisnya.Disinilah
secara filosofis kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu secara
Sosiologis system Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir peodalistik anti
kritik, sehingga mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua,
perpecahan di bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok
saling mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan.
Bahkan khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada orang-orang
yang tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal tersebut kemudian diikuti
kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi terhadap golongan Mu’tazilah karena
tidak mau tunduk kepada Ahlu Hadits.
Terakhir, penguasaan Baitul Maal yang berlebihan akibatnya muncul
justifikasi bahwa Baitul Maal adalah milik penguasa, bukan milik umat.
Sehingga tidak seorang pun berhak meminta pertanggungjawaban mengenai dari mana
uang itu berasal dan lari kemana uang itu kemudian. Hal ini memancing reaksi
negative dari masyarakat, dan memunculkan rasa ketidakpuasan yang berujung
kepada pemberontakan.
Masalah ini sebenarnya sudah
diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat sabdanya :
“Semakin
dekat seseorang pada kursi kekuasaan, semakin jauhlah dia dari Tuhan; semakin
banyak jumlah pengikut yang dimilikinya, semakin jahatlah ia; semakin banyak
kekayaan yang dipunyainya, semakin ketat pulalah perhitungannya.
Namun sangat disayangkan para
penguasa Dinasti Abbasiyah semuanya terbuai dan lupa bahkan kepada Allah
sendiri, hingga keruntuhan mereka.
Kemudian faktor eksternal yang
menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama, pemberontakan
terus menerus yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, Murjiah,
Ahlusunnah, dan bekas pendukung Dinasti Umayyah yang berpusat di Syiria
menyebabkan penguasa Abbasiyah harus selalu membeli perwira pasukan dari Turki
dan Persia. Konsekuensinya meningkat terus ketergantungan pada tentara bayaran
dan ini pada gilirannya menguras kas Negara secara financial.Kedua,
memberikan kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki, berakibat
mereka dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah di Khurasan,
Shatariyah di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihah
di Baghdad semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan kerajaan yang didirikan oleh
orang-orang Turki adalah Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan,
Ghaznawiyah di Afghanistan.dan
dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka Umayyah di Andalusia, Fathimiyah
di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko, Rustamiyah, Aghlabiyah, Ziriyyah,
Hammadiyah di Jazirah dan Syiria, al-Murabitun, al-Muwahidun di Afrika
Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga, serangan bangsa Mongol yang
dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumihanguskan dan diratakan dengan tanah.
Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di bunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul
Hikmah di bakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air
sungai tersebut menjadi hitam kelam karena lunturan tinta dari buku-buku itu.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., di antara hal yang menyebabkan
kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani
Umayyah. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan
tetap dipertahankan. Pada masa ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling
berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran
di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan
pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran,
sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode
kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan demikian terjadi
kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah
Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti
Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan
pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham
keagamaan yang ada.
4. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang
berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban. Konsentrasi dan perhatian
pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga
memunculkan kelemahan-kelemahan.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan
Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang
biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah
kepada kekuatan Mongol
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
deksipsi di atas dapat disimpulkan bahwa Dinasti Ababsiyah merupakan masa
kejayaan umat Islam, berkuasa mulai Khalifah Abu Abbas as-Saffa hingga
al-Musta’shim sebagai khalifah terakhir. Rentan waktu yang lama ini telah
menghasilkan banyak kemajuan dalam peradaban Islam, terutama sejak
menerjemahkan kitab-kitab klasik dari bangsa Yunani, Persia, India, baik dalam
bidang politik pemerintahan, ekonomi, agama di mana lahir para pemikir-pemikir
Islam baik dari bidang Filsafat, Kalam, Fiqh, maupun Tasawuf, dan ilmu-ilmu
Islam lainnya. Selain itu lahir pula pakar-pakar ilmu astronomi, geografi,
sejarah, dan lain sebagainya, yang nantinya sangat berperan besar terhadap
munculnya renaissance di dunia Eropa. Namun dibalik kemajuan itu,
Dinasti Abbasiyah menyisahkan noda bagi peradaban Islam itu sendiri, terutama
pembantaian-pembantai manusia setiap pergantian kekuasaan. Dan hal yang paling
penting sekarang dapatkah kita merefleksikan kemajuan dan kemunduran Dinasti
Bani Abbasyiah dalam kehidupan kontemporer, sehingga menjadi sebuah spirit
perubahan radikal. Wallahu a’lam bi Shawab.
B.Saran
Dari penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada semua yang
ikut partisipasi dalam pembuatan makalah ini penulis juga mengharapkan kepada para
pembaca saran untuk penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih dan semuga makalah ini bermamfaat
bagisemua.Amien…..
DAFTAR PUSTAKA
1 .
Al-Afifi,
Abdul Hakim, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah,
2002), cet. I
2 .
Amien,
Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: Rosda, 1987, cet. I.
3 .
Bosworth, C.
E. , Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: Mizan.
4 .
Engineer,
Ashar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006, cet. IV.
5 .
Hasan, Hasan
Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
6 .
Hasjmy, A. ,
Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet. I.
7 .
Lapidus,
Ira, Sejarah Sosialt Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 193.
8 .
Maryam,
Siti, dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam, (Dari Masa Klasik Hingga
Modern), (Yogyakarta: Lesfi, 2004), cet. I.
9 .
Nasr, Sayyed
Hosein, Relegion, History, and Civilization, New York: Herpercollins
Publishers, 2002.
10. Salim, Abdul Mu’in, Fiqh Siyasah: Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, cet.
I
11. Sou’yb, Joesoef, Sejarah Dinasti Abbasiyah II,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977, cet. I.
12. Tohir, Muhammad, Sejarah Islam (dari
Andalusia sampai Indus), Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1981
13. Umari, Akram Dhiyauddin, Masayrakat Madani (Tinjauan
Historis Kehidupan Zaman Nabi), Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. I
14. Zaidan, Jurji, History of Islamic Civilization,
New Delhi: Bhavan, 1978.
John P. Crips Jr, Jurnal Demokrasi, Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat, 2001, hlm. 4.
Muhamed al- Wa, Sistem Politik dan Pemerintahan
Islam, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1983), cet. 1, hlm. 91.
Ali As-Salus, Imamah & Khilafah, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), cet. I, hlm. 15.
Ajib Thohir,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta : Raja Grafindo
Persada), hlm 44-45.
Samsul Munir
Amin, Op. Cit., h. 144