KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan
rahmat dan hidayah-Nya,kami bisa menyalesaikan makalah dengan judul “Ahwal
Dalam Perspektif Kaum Sufi”. Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas
mata kuliah tasawuf yang dibina oleh Ibu Norholisah Spd yang nantinya akan menjadi
nilai tugas kelompok.
Dalam menyelesaikan makalah ini banyak pihak-pihak yang ikut memberikan bantuan
baik material maupun spiritual, mulai dari orang tua maupun teman-teman yang
selalu mendukung dan memotivasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Hanya do’a yang bisa penulis
panjatkan semoga yang memberi bantuan mendapat balasan dari Allah SWT.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Saran dan kritik akan sangat
bermanfaat bagi makalah selanjutnya. Harapan penulis semoga makalah ini akan
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua orang.
Wassalamu’alaikum
wr.wb
Pamekasan
4 september 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Penulisan Makalah
Akhir-akhir ini tinjauan analisis terhadapa tasawuf menunjukkan upaya para sufi
dengan berbagai aliran dianutnya memilki suau konsepsi tentang jalan (tharikat)
menuju Allah SWT. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah
(riyadhah), lalu secara lengkap bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal
dengan maqam (tingkatan) dah ahwal atau hal (keadaan) dan berakhir dengan
mengenal mengenal ma’rifat dari Allah SWT. Dalam berbagai jalan ini yang akan
diperjalas adalah tentang ahwal atau hal (keadaan) dalam prespektif dalam kaum
sufi.
Ahwal atau hal (keadaan) merupakan kondisi psikologis ketika ketika
seorang sufi mencapai maqam tertentu. Menurut Ath-Thusi, hal tidak termasuk
usaha latihan-latihan rohaniyah (jalan). Adapun hal dapat diperoleh oleh
seorang sufi tanpa disengaja atau dating dengan sendirinya.
2.
Rumusan Penulisan
A. Apa
pengertian tasawuf?
B. Bagaimana
konsep kaum sufi?
C. Apa yang
dimaksud dengan ahwal dalam tasawuf?
D. Bagaimana
struktur ahwal?
E. Apa
perbedaan maqam dengan hal ?
3. Tujuan
Penulisan Makalah
A. Untuk
mengetahui pengertian dari tasawuf
B. Untuk
mengetahui bagaimana konesp kaum sufi
C. Untuk
mengetahui apa itu ahwal dalam kaum sufi
D. Untuk
mengetahui bagaimana struktur dari ahwal dalam kaum sufi
E. Untuk
mengetahui apa perbedaan maqam dengan hal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tasawuf
Tentang definisi tasawuf (sufisme) beberapa pendapat dikemukakan oleh sejumlah
tokoh sufi dan orientalis. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Abu Qasim
Abdul Karim Al-Qusairi, seorang penulis sufi terkenal, menyebutkan didalam Kiatb
Ar-Risalah Al-Qusyairiyah lebih dari lima puluh definisi tasawuf.[1]
2. Faridud-Din
‘Ath-Thar, mengatakan didalam salah satu hasil karyanya yang terbesar Tadzkirah
Al-Awliyaa, bahwa tasawuf (sufisme) adalah suatau ungkapan tentang sekujur
tubuh mayat (orang yang telah meninggal dunia) dan ungkapan tentang hati nurani
yang hilang (kosong) serta ruh yang terbakar.[2]
3. Abu
Hamzah Al-Baqdadi mengatakan bahwa tanda seorang sufi yang benar adlah menjadi
miskin dan papa setelah mengalami hidup kaya, menjadi hina setelah mulia, dan
bersembunyi dari keramaina setelah menjadi seorang yang terkenal dan masyhur.[3]
4. Marie Schimmel,
mengatakan bahwa sulit mendefinisikan tasawuf secara lengkap, karena kita hanya
dapat menyentuh salah satu sudutnya saja.[4]
Dalam mengenai pembahasan definisi maupun asal usul kata tasawuf
tidak akan pernah ada batas penyelesaian karena selalu menjadi ajang perbedaan
pendapat dikalangan pembesar sufi itu sendiri.[5]
Hal itu bedasarkan pada pemaparan pengertian-pengertian diatas
yang telah dikemukakan oleh para ahli tasawuf itu sendiri. Disana dapt kita
lihat betapa sangat jelas perbedaan-perbedaan dalam mendefinisi arti tasawuf,
sehingga memang tidak aakan ada penyelesaiannya.
B. Konsep
Kaum Sufi
“Kaum sufi memegang teguh unisitas jalan hidup, sehingga mereka
memberi perhatian pada batin sebagaimana pada penegakan dan pelaksanaan hokum
islam (syari’ah) secara lahir. Jadi, adalah kebodohan ketika ada sebagian orang
mengatakan bahwa gerakan sufi adalah sebuah gerakan esoteric dan akhirnya
memandang sebelah mata pada sufisme dan menganggapnya hanya sebagai satu cara
hidup, mengasingkan diri dan menjadi biarawan. Ini bukan berarti tidak ada sufi
yang menjalani kehidupan sesuai dengan kondisi istimewa/kecenderungan pribadi
seorang sufi.”[6]
Seorang sufi sejati harus senantiasa membiasakan dan melakukan cara-cara
hidup islami yang asli, dan meliputi etnik, adat, dan bahasa apa saja,
karena sudah jelas bahwa seorang sufi itu lebih memberi perhatian terhadap
batin mereka, karena suatu keinginan yang amat sangat untuk mencapai Tuhan.
C.
Definisi Ahwal
Ahwal
adalah jamak dari hal yang artinya keadaan, yakni
keadaan hati yang dalam oleh para sufi dalam menempuh jalan untuk dekat kepada Tuhan.
Ahwal jugabisa diartikan situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagaima
karunia Allah SWT, bukan dari hasil usahanya. Ahwal dan hal merupakan
keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Dapat pula diartikan dengan keadaan-keadaan spriritual. Ada ribuan diatas
ribuan keadaan spiritual. Sebagai anugerah dan karunia AllahSWT kepada hati
para penempuh jalan spiritual yang masing-masing mengandung banyak sekali
kiasan halus. Orangyang mendengar konser sprirtual bias mengalami berbagai
keadaan spiritual.[7]
“Imam Qusyairi menjelaskan bahwa setiap hal merupakan karunia. Dan setiap maqam adalah
upaya pada Al-Hal, dating dari wujud itu sendiri, sedang maqam,
diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memilki maqam,
menempati maqamnya dan orang yang berada dalam hal, bebas dari
kondisinya. Hal merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan
kepada seorang sufi keberadaanya tidakalah tetap. Artinya, hal terkadang
datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya
sekejap. Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia
(mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya
dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Dalam konteks yang demikian dapat
dikatakan bahwa ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada
dalam wilayah teoritis semata.”[8]
“Abu Nasr
As-Sarraj mengemukakan adanya sepuluh ahwal, yaitu (1)muraqabah yakni
usaha mersakan kedekatan dengan Allah SWT atau merasa diawasi oleh Allah SWT,
(2) qurb adalah dekat dengan Allah SWT, (3) mahabbah atu cinta
kepada Allah SWT, (4) khawf merupakan takut kepada Allah SWT,
(5) raja’ yang artinya menharap kepada Allah SWT, (6) syawq
(rindu kepada Allah SWT), (7) uns yaitu merasa gembira dalam
mnengat Allah, (8)tuma’ninah yakni merasa tenteram dalam mengingat
Allah SWT, (9) musyahadah adalah menyaksikan dengan hati kepada Allah SWT, dan
(10) yaqin atau percaya yang sesungguhnya kepada Allah SWT.[9]
D.
Struktur Ahwal
1. Muraqabah
Yang dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan
yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaaan konsentrasi dan waspada. Lebih jauh,
muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai
manusia. Atau dengan istilah lain, kesadaran akan kesatuan antara mikromos,
makromos , metakromos.[10]
Kondisi ini berhubungan dengan jiwa. Seorang sufi akan merasakan
kedekatan antara Tuhan, alam, dan dirinya sendiri. Pada tingkatan ini
diharapkan ada dalam setiap kaum sufi. Karena muraqabah ini menjadi dasar dalam
melakukan sebauh ibadah untuk dekat dengan Allah SWT.
Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala
perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada
Allah. Dengan kesadaran semacam ini, seorrang hamba akan selalu mawas diri,
menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.[11]
Untuk melakukan muraqabah diperlukan kedisiplinan yang sangat tinggi. Hal ini
sangat penting perwujudan konsistensi diri pada perbuatan aatau perilaku dalam
muraqabah.
2. Mahabbah
Dalam
pendapat bebrapa ulama ada yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari
maqamat tertinggi, yang merupakan puncak pencapaian para sufi. Mahabbah
(cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan.
Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda
cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang
tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan yang
melupakan sifatnya sendiri.[12]
Ilustrasi tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi, bahwa mahabbah
adalah bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia.
Kehendak Tuhan, yakni kerinduannya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan
kehendak manusia ialah kembali pada esesensinya sebagai wujud mutlak.[13]
3. Khauf
Ahmad Faridh
menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah swt. Untuk
menggiring hamba-hambanNya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya, mrerka
dapat dekat dengan Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan
sesuatu yang ditakut, yang akan menimpa diri pada waktu mendatang.[14]
Dalam hal ini khauf bisa membuat seorang hamba mawas diri atau dapat membuat
seorang hamba menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan maksiat dan akan selalau
membuat dirinya mempunyai semangat atau kemauan yang tinggi dalam melakuakan
hal yang berhubungan dengan pendekatan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya
apabila seseorang tidak mempunyai sifat khauf, maka secara tidak langsung akan
membuat seoarng hamba berani melakuan kemaksiatan tanpa rasa takut sedikitpun
kepada Allah SWT.
Uraian untuk memberikan penjelasan tentang khauf (takut)sangatlah banyak
pendapat. Yakni antara lain umgkapan “Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut
adalah pelita hati, dan dengan takut baik dan buruk hati seseorang akan
tampak. Sementara Abu Umar al-Dimasyiqi mengaskan, bahwa orang yang takut
adalah orang yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih takut dari takutnya
pada setan. Ibnu Jalla’ berpandangan bahwa manusia yang takut (kepada Alla)
adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”[15]
Setelah melihat dan mengkaji pendapat yang dikemukan oleh para ahli tasawuf
diatas, dapat dipahami bahwa takut yang dimaksudkan disini adalah perasaan
takut akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga perasaan
ini akan secara otomatis memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik, pada
masa mendatang ia akan menerima akibat yang baik pula. Dengan kata lain khauf
(takut), adalah mereka yang berpikiran luas dan dalam jangka panjang kedepan,
bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
D. Raja’
Sebagaimana halnya dengan khauf (takut), raja’ (harapan adalah kerikatan hati
dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al-Qusyairi
membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat
aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seorang mengharapkan sesuatu akan
berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya.
Sementara orang yang meangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak
melakukan apapun yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan yang
diangan-angankan.[16]
Jika dalam diri seseorang sudah ada yang diharapkan, maka orang tersebut akan
berusaha dan selalu berikhtiar untuk tercapainya apa yang menjadi harapan dalam
dirinya. Sedangkan bagi orang-orang yang hanya meangan-angankan sesuatu dia
tidak akan mempunyai kemauan untuk berusaha meraih apa yang sudah dia angankan.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
· Cinta
kepada apa yang diharapkan
· Takut
harapannya hilang
Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga: 1) manusia yang melakukan amal
kebaikan, dengan harapan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan
diterima oleh Allah SWT; 2) Manusia yang melakukan amal buruk, kemudian
bertaubat, dengan harapan akan mendapatkan ampunan dari Allah; 3) orang yang
menipu terur menerus melakukan kesalahn dengan mengharapkan ampunan.
Untuk itu disarankan
bagi orang yang menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan
mengharapkan ampunan. Raja’ (harapan) akan membawa seseorang pada perasaan
optimis dalam menjalankan segala aktifitasnya serta menhilangkan segala
keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala
aktifitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.[18]
E. Shauq
Rindu (shauq) merupakan luapan perasaaan seorang individu yang menharapkan
untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan
kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang
dirindukan. Begitu pula seoarng hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT
akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenayan, sebagai bukti
dari perasaan rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseorang dari nafsu.
Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang
segala aktifitasnya baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik
tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki.
Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia
lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya
dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan dan kecemasan.[19]
F. Uns
Uns adalah perasaan suka cita kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan
kedekatan dengan Tuhan. Dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam
kebenaran, seorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan,
kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang meluap-luap luar biasa sehingga
sangat sulit untuk dilukiskan. Keadaan semacam ini dapat dialami oleh seorang
sufi dalam keadaan tertentu.
Seorang sufi yang mempunyai sifat uns akan senantiasa mersa dekat dan berteman
dengan Allah SWT. Selain itu mereka tidak akan pernah mersa sepi
melainkan mersakan kebahagian yang sangat besar. Karena didalam hatinya
telah diisi oleh cinta serta kasih saying yang sangat luar biasa. Dalam mengalami
uns setiap sufi memiliki pengalaman sendiri-sendiri dengan rasa yang sangat
pribadi, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.
G. Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketenteraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Ibnu Qayyim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama ,
ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut
kepada Allah . kedua, ketenteraman jiwa pada Kashf, ketenteraman
perindu pada batas penantian, dan ketenteraman perpisahan pada pertemuan.
Ketiga, ketenteraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketenteraman
pertemuan pada baqa’ (keabadiannya), dan ketenteraman maqam pada
cahaya keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. [20]
Jika dipahami secara lebih luas dan mendalam, apa yang terjadi dalam fenomena
fana’ pada dasarnya adalah sebuah perasaan terpesona yang luar biasa terhadap
fenomena keindahan alam semesta dengan segal keteraturan dan hikuk-pikuknya,
yang dalam pandangan sufi adalah wujud keindahan kebesaran Tuhan.
H. Musyahadah
Penjelasan mengenai musyahadah serinh dikaitkan dengan uraian tentang
muhadaharah dan mukasyafah. Muhadharah berarati kehadiran kalbu dengan sifat
nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran at-haqq dewngan tanpa
dibayangkan.
Secara psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah, senantiasa penuh
keceriaan dalam setiap ruang dan waktu. Dalam situasi dan kondisi apa pun, baik
yang langka ditemui maupun yang telah biasa ditemui dan dialami, akan
senantiasa ditangkap sama dengan penuh kesegaran apresiasi.
I. Yaqin
Al-Yaqin dalam terminology sufi adalah perpaduan antara ilmu al-yaqin dan haqq
al-yaqin. ‘ilm-yaqin dalam terminology para ulama adalah sesuatu yang ada
dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-yaqin, sesuatu yang ada dengan
kejelasan. Haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang
disertai kenyataannya.[21]
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa, secara teoritis para ahli tasawuf
sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat. Namun, pada tataran interpretatif,
para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan pengalaman
masing-masing. Karena pada dasarnya pencapaian maqamat dan ahwal merupakan
pengalaman spiritual pribadi, sehingga yang mengetahui secara persis adalah
sufi yang mengaminya secara langsung.
E. Perbedaan Antara Ahwal dan Maqamat dalam tasawuf
Para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal secara teliti. Maqam menurut
mereka, ditandai dengan kemapanan, sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam
dapat dicpai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Adapun hal dapat diperoleh
seseorang tanpa disengaja.
Mengenai hal, Al-Qusyairi berkata, “hal adalah makna yang datang pada kalbu
secara tidak disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari,
bersedih hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu,, rasa gelisah, atau
dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam dapat
diperoleh dengan daya dan upaya. Orang yang memperoleh maqam dapat tetap dalam
tingkatannya, sementara orang yang meraih hal justru akan mudah lepas dari
dirinya.Ibid”[22]
Perlu dicatat, antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua
sisi dalam satu mata uang. Ketrekaintan antar keduanya dapat dilihat dalam
kenyataan bahwa maqam menjadi persyaratan menuju Tuhan; bahwa dalam maqam
akan ditemukan kehadiran hal. Sebaliknya, hal yang telah ditemukan dalam maqam
akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqm selanjutnya.
Sekedar contoh, seseorang yang tengah berada dalam maqam tpbat akan menemukan
hal (perasaan) betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari
dosa-dosa dihadapan Tuhan. Persaan ini akan menjadi benteng kuat untuk tidak
mengerjakan kembali dosa-dosa yang pernah dilakukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hal terkadang
datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya
sekejap. Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia
(mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan
memperbanyak amal baik atau ibadah. Dalam konteks yang demikian dapat dikatakan
bahwa ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam
wilayah teoritis semata.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Hasyim, dialog
antara tasawuf dan psikologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2000.
Ahmad Athoullah , Diklat
Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf. Serang:IAIN Sunan Gunung Jati.1985.
Jumantoro Totok , Kamus Ilmu Tasawuf . Amza.
2005.
Zainuddin, Kamus Tasawuf, Bandung:Pustaka
Hidayah. 1998.
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf. Bandung:CV PUSTAKA
SETIA.2010
[1] Hasyim Muhammad, dialog antara
tasawuf dan psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.13.
[2] Ibid. hal.14
[3] Hasyim Muhammad, Dialog Tasawuf dan
Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.14.
[4] Ibid.
[5] Ibid. hal.15.
[6] Athoullah Ahmad, Diklat Ilmu
Akhlak dan Ilmu Tasawuf, Serang:IAIN Sunan Gunung Jati, 1985, hal.102.
[7] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu
Tasawuf , Amza, 2005, hal.7.
[8] Zainuddin, Kamus Tasawuf, Bandung:Pustaka
Hidayah, 1998, hal.185.
[9] Ibid.
[10] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47
[11] . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf
dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47
[12] Ibid, hal.48.
[13] Ibid.48-49.
[14] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV
PUSTAKA SETIA, hal.204.
[15] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47
[16] Ibid.51-52.
[17] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV
PUSTAKA SETIA, 2010, hal. 204.
[18] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47
[19] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.53
[20] Ibid.54
[21] Ibid. 57.
[22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV
PUSTAKA SETIA, 2010, hal. 199.