Comments

Showing posts with label KARYA ILMIYAH. Show all posts
Showing posts with label KARYA ILMIYAH. Show all posts


BAB  I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Kata fiqh jika kita tinjau dari dimensi definisi bahasa yaitu “ paham yang mendalam”  semua kata “faqaha “ yang terdapat dalam al- qur’an mengandung arti ini, namun yang dimaksud paham yang mendalam disini secara hakikat adalah paham tentang persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’,  telah kita ketahui dalam arti yang menjadi objek dari fiqh adalah persoalan amaliyah dan furu’iyah yang didasarkan kepada dalil yang tertafsili, dan dalil ini digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal yaitu bagaiman menggunakan sebuah dalil,
            Melalui wacana diatas tentang sekilas seputar fiqh mungkin dapat membantu kita untuk dijadikan intropeksi diri tentang persoalan fiqh, yaitu sampai dimana kedalaman kita mengetahui tentang persoalan hukum dalam syara’, secara tidak sadar tidak banyak orang yang mengabaikan persoalan ini bahkan tidak memiliki pemahaman yang baik seperti persoalan kecil, seperti wudhu’
            Tidak banyak kita jumpai tentang keterpurukan ini, baik waktu sholat dan lain hal yang berkaitan dengan hukum kita temukan, sekarang telah banyak orang yang mencendrungkan dirinya dalam persoalan dunia yang gampang dan mudah tanpa dasar hukum yang benar, bahkan cuma ada yang mengamalkan separuh, hal ini cukup memprihatinkan sekali bila kita renungkan, maka penulis merasa cukup penting untuk mengangkat persoalan fiqh dalam bentuk makalah sebagi penyokong kesadaran tentang pentingnya pemahaman yang mendalam seperti yang penulis singgung diatas,
            Tidak hanya itu yang perlu kita pahami tetapi juga harus kita ketahui apakah fiqh dan ushul fiqh dapat dikaji secara ilmiah yang sesuai kaidah yang telah ada dalam scientific method  itu sendiri, maka point ini mencoba, penulis menyingkap persoalan ini secar ilmiah yang bertujuan bahwa islam juga peduli terhadap perkembangan peradaban keilmuan yang secara flexibility hal ini juga merupakan  ilmu yang patut kita tuntut berdasarkan kesadaran.
B.  Rumusan Masalah
            Sebagai sketsa pembahasan pada makalah ini penulis perlu merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan fiqh dan ushul fiqh sebagai kajian ilmiah yaitu sebagai berikut ;
1.      Apa pengertian fiqh dan ushul fiqh ?
2.      Bagaimana sejarah singkat tentang ushul fiqh ?
3.      Apakah fiqh dan ushul fiqh disiplin ilmu ?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tentang fiqh dan ushul fiqh
2.      Untuk mengetahui sejarah timbulnya ushul fiqh
3.      Untuk mengetahui fiqh dan ushul fiqh sebagai kajian yang ilmiah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh  dan Ushul Fiqh
Pada point ini penulis akan membahas dua pengertian yaitu fiqh dan Ushul fiqh, untuk pertama penulis akan menjelaskan tentang fiqh terlebih dahulu. Pengetahuan tentang fiqh begitu signifikan bagi kehidupan umat. Hal ini terjadi karena fiqih merupakan piranti pokok yang mengatur secara mendetail perilaku kehidupan umat selama dua puluh empat jam setiap harinya. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa fiqh adalah islam kecil sedang isl;am itu sendiri sebagai fiqh besar dalam konteks bahwa islam sebagai the way of life para pemeliknya.
Secara etimologi fiqh berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarang potensi akal.[1] Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an , yakni dalam surat  Thaha (20) : 27-28, An- Nisa’ (4) :78, Hud (11) : 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda Rasulullah SAW: yang Artinya:
  “ Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, dia akan memberikn pemahaman agama yang mendalam kepadanya.
(H.R Al-Bukhori, Muslim, Ahmad Ibnu Hambal, Tirmidzi, dan ibnu Majah).
Adapun secara termenologi fiqh yaitu mengetahui hokum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Mengenai hakikat fiqh terperinci sebagai berikut:
1.      Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hokum syara’ dari setiap pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh ,mubah dan sunnah.
2.      Objek kajiannya adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3.      Pengetahuan hukum syari’ah itu didasarkan kepada dalil tafsili,(terperinci)
4.      Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’ammul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5.      Merupakan seperangkat cara kerja sebagai bentuk praktis dan cara berfikir taksonomis dan logis untuk memahami al-qur’an dan hadits.[2]
Rasyid Ridha (1979: 23)    ” mengertikan fiqh sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai paham yang mendalam tentang hakikat-hakikat, dengannya seseorang yang memiliki pengetahuan akan menjadi bijaksana, mengamalkan dan berpendirian.
Pengertian fiqh tampak lebih luas dari sekedar paham. Ia berarti memahami kehendak pembicara sebagaimana yang diucapkannya, yakni paham dan mengerti kehendak Allah. Namun karena akal manusia tidak sama, maka memahami kemampuan dan kehendak wahyu allah pun berbeda satu sama lain. Sebagaimana halnya suatu ilmu memiliki tingkat kebenaran yang relative (dzanny). Dari sisi ini para sebagian ulama mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa hokum dapat terjadi karena perubhan dan perbedaan waktu, ruang kondisi, niat dan manfaat. Dari sisi ini pula dapat dipahami dipahami bahwa berlakunya fiqh dalam pengeetian ijtihad sangat local.
    Ada pendapat yang mengatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak sama dengan “ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafadnya adalah sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zdanni seperti faham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang dzanni dalam dirimya.
Dari point ini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan islam, kata fiqh belum bermakana spesifik sebagai ilmu hukum  islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas hokum-hukum muamalat. Hal ini bisa dimaklimi mengingat pada waktu itu para sahabat nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan masyarakat.mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam.


Hal kedua adalah penulis akan menjelaskan pengertian Ushul fiqh. Ushul fiqh secara Etimologis, Ushul fiqh terdiri dari dua kata  yaitu Ushul dan al-fiqh. Yang berasal dari bahasa arab dan masing-masing kata itu mempunyai arti tersendiri.
Kata ushul merupakan bentuk jamak(plural) daari kata al-Ashlu yang berarti dasar atau landasan tempat membangun sesuatu. Juga bisa berarti sesuatu yang mempunyai cabang[3]. Sedangkan al-ashlu secara termenologis mengandung pengertian yang bermacam-macam, yaitu: berarti dalil, kaidah umum, pendapat yang lebih unggul atau bermakna asal yang digunakan untuk menganalogikan sesuatu serta  bisa berarti keadaan sesuatu yang diyakini manakala terjadi keraguan.[4]
Adapun al-fiqh (fiqh) secara bahasa yaitu adalah sebuah pemahaman. Sedangkan secara istilah mempunyai arti tentang pengetahuan hokum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang diambil dari satu per satu dalil.
Sedangkan Ushul Fiqh secara terrmenologis, yaitu bertitik tolak dari konsep disiplin ilmu, Ushul fiqh dipandang sebagai satu kesatuan, tidak melihat kepada pengertian satu per  satu kata yang membentuknya. Menurut Abu Zahrah, “ ushul Fiqh adalah suatu ilmu  tentang kaidah-kaidah metodologis yang digunakan untuk mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalilnya satu per satu.[5] 
Penjelasan diatas memberikan ilustrasi bahwa yang menjadi objek bahasan Ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan suatu hokum atau dengan kata lain bagaimana cara dalil itu menunjukkan suatu hokum dan sebaliknya bagaimana suatu hokum ditetapkan berdasarkan dalil-dalil itu.
Dari definisi diatas penulis menggambarkan bahwa Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mengkaji dalil-dalil hukum yang bersifat tekstual untuk diambil substansinya dan kemudian di aplikasikan pada permasalahan kontekstual.


B.   Sejarah Singkat Tentang Ushul Fiqh
 Pada zaman nabi SAW semua persoalan yang dihadapi masyarakat kala itu, selalu dikonsultasikan pada baginda Rasulullah SAW guna mencari solusinya, kemudian dia  memutuskan suatu hukum dengan menunggu turunnya wahyu dan jika wahyu tidak datang maka beliau memutuskan hukum berdasarkan pendapatnya yang dikenal sebagai hadits. permasalahan hukum masih berada dibawah bimbingan  allah SWT, yakni lewat rosulullah SAW dalam memberikan arahan umatnya, maupun menyelesaikan masalah ataupun pemecahan masalah yang telah dihadapi umat pada masanya. Dalam memberikan bimbingan ini Allah mengutus malaikat jibril, terkadang malaikat jibril datang membawa wahyu tanpa didahului oleh adanya masalah atau sebab khusus,tetapi terkadang juga wahyu yang dibawa oleh malaikat jibril tersebut kadang kala didahului masalah.
Memasuki masa Sahabat, persoalan-persoalan hukum semakin kompleks setelah semakin luasnya daerah kekuasaan islam dan terjadinya akulturasi antara masyarakat Arab. Oleh karenanya, fiqh sebagai produk ijtihad mulai dari munculnya para sahabat. Meskipun secara historis fiqh  lebih dulu dikenal dan dibukukan dibandingkan Ushul fiqh, dalam praktiknya sebenarnya kedua ilmu tersebut muncul secara bersamaan. Fiqh tidak mungkin terwujud tanpa melalui metode istinbat, dan metode istimbat itulah sebagai inti dari ushul fiqh.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah masyarakat arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabanya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahsa arab dikalangan sebagian umat. Disisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum  pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum fiqihnya.
Pada masa tabi’in metode istimbat semakin jelas dan meluas dimana para tabi’in mulai terpencar dibeberapa daerah islam serta melakukan ijtihad dalam rangka merespon berbagai persoalan baru yang dihadapinya sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.
Era selanjutnya adalah zaman para imam mujtahid, dimana metode ijtihad menjadi sangat jelas disetiap pengambilan hokum. Imam Abu Hanifah  (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi, menjelaskan dasr hirarki dasar istinbatnya dengan berpedoman pada kitabullah, sunnah rasululloh dan fatwa yang disepakati oleh para sahabat (fatawa al-shahabah). Imam Hanafi juga terkenal sering melakukan qiyas dan istihsan dalam ijtihadnya.  Dia tidak berpedoman kepada tabi’in karna dia sejajar dengan mereka. Sedngkan pendiri madzhab Maliki, Imam Malik (w. 178 H ), sisamping  berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah, mendasarkan ijtihadnya kepada praktik penduduk Madinah. Dalam melakukan ijtihad , Imam Malik dikenal banyak melakukannya dengan pendekatan maslahah.
Perbedaan penggunaan pendekatan itu menghasilkan pendapat serta hukum  yang saling berbeda  tanpa didasarkan kepada suatu teori istimbat, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran dikalangan para uama’. Akhirnya timbullah fikiran untuk membuat aturan standar dalam melakukan ijtihad, suatu aturan yang menjelaskan metode istimbat hukum baik secara naqli maupun aqli.
C.    Fiqh dan Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu
Pada point ini bisa dikatakan fase uji coba terhadap keilmiahan ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh, yang mana pada point ini penulis mencoba merasionalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan hal diatas dan membuktikan secara realistis dan memenuhi syarat-syarat ilmu yang telah ada.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan (khususnya ilmu agama islam, fiqh berkembang menjadi disiplin ilmu (hukum islam), mencakup hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari’ah, yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman, dan ijtihad.
Selanjutnya Al-Jurjaniy mengemukakan bahwa Fiqh dan Ushul Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan melalui pemikiran (ijtihad) dan memerlukan wawasan serta perenungan. Oleh karena itu, Allah tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqh), karena bagi-Nya segala sesuatu telah jelas. Sedangkan faqih perlu menjelaskan maksud dan kehendak Allah sebagai pembuat hukum atau syari’ah (al-Syari’). Pada saat ini, orang yang ahli tentang fiqh disebut dengan faqih atau dengan menggunakan jamaknya fuqaha. Fuqaha termasuk dalam kategori ulama, meskipun tidak setiap ulama adalah fuqaha. Selanjutnya ilmu fiqh disebut pula dengan ilmu furu’, ilmu hal, ilmu al-halal wa al-haram, dan ilmu syar’I wa al-ahkam (A. Djazuli, 1993: 16)    
Selain difinisi ilmu fiqh dari al-Jurjaniy dari madzhab Hanafi, ada juga yang mendifinisikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1963: 17). Tentu saja definisi ini menunjukan pengertian yang luas, tercakup didalamnya  segala aspek yang berkaitan dengan aqidah.
Secara metodologi keilmuan, fiqh memiliki realitas sosial yang tampak dan dalam membantu keberlangsungan hidup beragama, seperti contoh berwudhu’ dalam kajian rasiaonalis tampak tidak berguna, tetapi dalam pengamalan dan filosofis dari anjuran syara’ memiliki keajaiban yang mampu membangun realitas seperti membasuh telinga yang pada hakikatnya kontraksi penyucian, dengan do’a yang dibaca membuat telinga terjaga dari kemaksiatan, dan juga pada persoalan lain seperti masa iddah pada seorang wanita yang jumhur ulama’ menyatakan harus tiga kali sucian, hal ini juga memiliki makna menjaga kontaminasi keturunan dari suami sebelumnya secara biologis, dan ranah ini juga bukti terungkapnya fiqh dalam ranah rasio yang jadi tolak ukur ilmu secara umum,
Fiqh dan ilmu ushul fiqh secara kajian keilmuan memiliki nama, yang juga merupakan bentuk pengakuan dan persetujuan bahwa fiqh merupakan ilmu yang memiliki metode, dan secara tidak langsung dari beralihnya peradaban dari dulu sampai sekarang fiqh tetap menjadi bahan ilmu dalam hukum syara’, fiqh ataupun ushul fiqh tidak dimiliki oleh agama-agama selain agama islam kita,
Perlunya seseorang terhadap paham(fiqh), dalam objek independen fiqh itu sendiri juga menjadi indikasi penting pula terhadap kebenaran ilmu fiqh.  dan juga masuknya ilmu fiqh dalam ranah sosial lebih-lebih pada kesehatan membuat seseorang terasa meyakini kebenaran fiqh. Contoh konkrit pada persoalan makanan yang didapat dari hasil mencuri, dikaitkan dengan sabda nabiyang inti pokonya akan mengelapkan hati, dan apabila hati telah gelap maka dampaknya akan mengarah pada perangai sehari-hari dalam interaksi.
            Hal lain mungkin sebelumnya belum kita ketahui kasus haramnya babi dari dimensi biologisnya ternyata, babi diharamkan juga ada keuntungan bagi kesehatan, karena daging babi mengandun gizi tinggi lebih tinggi dari gizi yang menjadi kebutuhan manusia semestinya, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia akan menyebabkan darah tinggi dan stroke, terdapat keindahan yang tersembunyi dari itu semua.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah kami sajikan diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh dan Ushul fiqh merupakan sebuah ilmu yang turun-temurun . Dan hal tersebut tetap dipegang teguh dengan rasa cinta yang tulus dan ikhlas, sedangakan Fiqh  adalah sebuah ilmu yang memiliki cakupan yang cukup luas (mother of science), sehingga agama juga menjadi sub menu dalam kajiannya.      
           Hubungan antara  Fiqh dan Ushul fiqh merupakan satuan makna yang terpisah secara bahasa,  yang sebenarnya tidak memilki pertentangan, bahkan semuanya mendukung dalam menghadirkan  Ultimate reality, sehingga keragu-raguan akan hilang secara perlahan dengan pemahaman tanpa hijab tentang agama yang dalam filsafat adalah sebuah keindahan murni.
         Dengan adanya keterkaitan semacam ini, bila kita mengikuti amar Kalamullah yaitu  Tafakkaru fii kholqillah akan semakin menanamkan dan merekonstruksi kembli nilai-nilai serta paradigma yang hampir terkikis oleh  modernization.

B.  Saran-saran
Bila Fiqh dan Ushul fiqh merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun mengharapkan pada para pembaca       untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi  atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring pertama menuju ridho-Nya.

DAFTAR PUSTASKA
Ishomuddin, Abbadi, H. Ushul Fiqh, pengantar Teori Hukum Islam, cet, I,       Pamekasan Press, 2010.
Syarifuddin, Amir, Prof, Dr. Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : kencana, 2003.
Supriyatni, Renny, Dr, Hj, PengantarHukum Islam, Maret 2011.
Amiruddin, Zen, Drs, H, Msi, Ushul Fiqh, Lembaga kajian Agama & Filsafat, Surabaya  (el-kaf), 2006.
Abidin, Zainal, M.EI, Fiqh Kontemporer, cet,1, Pamekasan press,2010.
Syafe’i, Rahmat, Prof, Dr, M.A. Ushul Fiqh, Bandung Pustaka Setia.
Nur, Saifudin, M,Ag, Ilmu Fiqh, cet, I, Buahbatu,Bandung, Maret 2007.
Djatnika,Rachmat, Prof, Dr, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam,Kelembagaan Agama Islam Depag, 1986.                                   





[1] CD kutub al-Tis’ah, al-Bukhari, hadith no:69
[2] Team Dirasah Islamiah,Ibadah dan Syari’ah  (Jakarta:UIJ, 1978), 7.
[3] Badruddin  Muhammad Bin Bahadir al-zarkasyi, al-bahru al-Muhit Fi Ushul al-Fiqh (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2000),cet,I,h.10
[4] Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta:Sa’adiyah putra) h,3.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-Arabi) h, 7.Title Link - http://khuzainullah.blogspot.com/2014/09/bab-i-pendahuluan-a_25.html
Read More >>


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muhammadiyah merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Bahkan Pendidikan telah menjadi “trade-merk” gerakan Muhammadiyah besarnya jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat islam dan pencerdasan bangsa. Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengentarskan bangsa Indoensia dan umat islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan suatu model pembaharuan sistem pendidikan “modern” yang telah terjaga identitas dan kelangsungannya.
Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah atau pembaharuan pendidikan islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya. Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah KH. Ahmad Dahlan. Oleh karenanya penulis akan membahas “Konsep Pendidikan dalam Perspektif Ahmad Dahlan”.
B. Rumusan Masalah                                                                          
Agar pembahasan makalah ini tidak melenceng dari pembahasan, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Riwayat Hidup Ahmad Dahlan ?
b. Bagaimana Konsep Pendidikannya ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Pendidikan Dalam Persepktif Ahmad Dahlan
1.      Sketsa Biografi  Ahmad Dahlan
Tokoh pendiri organisasi muhammadiyah,beliau di lahirkan pada pada tahun 1868. Sumber lain menyebutkan bahwa ahmad dahlan di lahirkan di yogya dengan nama mohammad darwis.sebagia anak dari salah seorang dari khatib masjid agung yogyakarta.bapaknya bernama KH Abu bakar bin K.sulaiman,khatib di masjid sultan d kota itu, sedangkan ibunya putri dari H.ibrahim,seorang penghulu
Semasa kecilnya muhammad darwis belajar agama dan bahasa arab pada tahun 1888,dia di suruh orang tuanya menunaikan ibadah haji ia bermuim di mekkah selama 5tahun untuk menuntut agama islam,seperti Qira’at,tauhid,tafsir,fiqh,tasawwuf,ilmu mantiQ dan ilmu falaQ.sekembalinya ke kampungnya ia berganti nama menjadi haji ahmad dahlan pada tahun 1903,ia bekesempatan kembali ke mekkah untuk memperdalam ilmu agama selma 3 tahun.kali ini ia banyak belajar dengan syekh ahamad khtib minangkabau di samping itu dia tertarik pada pemikiran ibn taimimah,jamaluddin al-afgani,muhammad abduh dan muhammad rasyid di antara tafsir yang menarik hatinya adalah tafsir al-manar.dari kitab ini dia mendapat inspirasi dan motivsi untuk mengadakan perbaikan dan pembahruanummat islam di dunia.
b. Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan uamt.Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :

1. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama d Sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat prakltik pendidikan islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa.kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Pdahal menurut dahlan, pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan strategi bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi dan batasan ini terlihat bahwa dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi revormasi pendidikan islam melalui penggabungan sistem pendidika modern dan tradisional secara harmonis dan integral.[1]
Dalam buku lain Menurut dahlan,pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur,alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan serta berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.hal ini berrti bahwa pendidikan islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai abdi maupun khalifah di dunia.untuk mencapai tujuan ine proses pendidikan islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan,baik umum ataupun agama,untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.upaya akan tereliasasi manakalaproses pendidikan bersifat integral proses pendidikan yang demikian pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni “intelegtualisasi ulama”dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah[2]
2. Materi Pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.       Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti firmannya dalam al-qur’an
ياايهاالذين امنوااذاقيل لكم تفسّحوافي المجالس فافسحوايفسح الله لكم واذا قيل انشزوفا نشزوا يرفع الله الذين امنوا منكم والّذين اوتواالعلم درجات والله بما تعملون حبير(المجادلة 11)
ayat tersebut memiliki beberapa kandungan diantaranya
 Seseorang yang mencari ilmu harus mengepankan tatakrama dan kesopanan dalam menimba ilmu yang disertahi dengan kepatuhan dan ketundukan kepada pendidiknya
Manusia akan memiliki derajat yang tinggi disisi tuhannya jikalau beriman dan memiliki ilmu pengetahuan[3]
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.[4]
Juga disebutkan dalam buku lain, dalam memperkaya ide pembahruannya,ia berkunjung ketempat Rasyid Ridha,  pada kunjungannya tersebut Dahln menyempat diri bertemu dan berdiskusi dengan Rasyid Ridha. Bias dari kontak intelektual ini dapat dilihat dari dinamika intelektualnya. Bias tersebut antara lain; pertama, menjadikan pemahamannya tentang ajran islam semakin mendalam dan komprehensif. Kedua, kecenderungan yang hanya mempelajari kitab-kitab para ulama mulai bergeser kearah pencarian dan penelaahan secara mendalam langsung dari sumber aslinya, Al-quran dan sunnah. Ketiga, bangkitnya semangat unutk memurnikan kembali ajaran dan pemahaman ummat tehadap ajran islam sesuai dengan Al-quran dan Sunnah Rasulullah.
            Secara umum ide-ide pembaharuan Dahlan dapat di klasifikasi kepada dua dimensi, yaitu; pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran islam dari kurafat, tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat islam. Kedua, mengajak umat islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin islam yang dapat diterima oleh rasio.[5]
3.Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
 Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
 Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya kiai haji ahmad dahlan berasal dari keluarga terpandang ayahnya seorang imam hotip masjit besar keraton jogjakarta.
ide-ide yang di kemukakan kiai hj ahmad dahlan adalah membawa pembaruan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan islam yang semua sistem pesantren menjadi sistem klasikal, memasukkan pelajaran umum kepada madrasah. meskipun demikian, kiai hj dahlan tetap mendahulukan prndidikan moral atau ahlak, pendidikan individu dan pendidikan kemasrakatan

DAFTAR PUSTAKA
Siswanto,pendidikan islam dalam perspektif filosofis (pamekasan:stain pamekasan press,2009).
Samsul Nizar, filsafat pendidikan islam,(Ciputa pers, Jakarta:2002),
Jurusan tarbiyah kumpulan ayat dan hadits tentang pendidikan



[1] http://hadirukiyah2.blogspot.com/2009/09/konsep-pendidikan-perspektif-ahmad.html

[2] Siswanto,pendidikan islam dalam perspektif filosofis (pamekasan:stain pamekasan press,2009),hlm129-133
[3] Jurusan tarbiyah kumpulan ayat dan hadits tentang pendidikan:hlm47
[4] Ibid 1
[5] Samsul Nizar, filsafat pendidikan islam,(Ciputa pers, Jakarta:2002), Hlm., 103-104
Read More >>


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan pada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya pada kita semua, sehingga makalah ini bisa terselesaikan dengan baik. Salawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan ummat Islam yang telah memberikan pencerahan bagi manusia sehingga memiliki peradaban yang lebih mulia. Karena perjuangan beliau menegakkan kebenaran sehingga mengangkat derajat manusia terutama kaum wanita pada zaman Jahiliyah.
Terlebih dahulu kita berdo’a pada Allah agar kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat, karena manusia itu tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilafan. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai acuan pembelajaran dalam mata kuliah Sejarah peradaban Islam. Bila ada kekurangan dalam makalah ini penulis mohon kemaklumannya.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam peradaban ummat Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban ummat Islam yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh Bani Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu pengetahuan. Hal inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan semangat bagi generasi ummat Islam bahwa peradaban ummat Islam itu pernah memperoleh masa keemasan yang melampaui  kesuksesan negara-negara Eropa. Dengan kita mengetahui bahwa dahulu peradaban ummat Islam itu diakui oleh seluruh dunia,  maka akan memotifasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai sejarah peradaban ummat Islam sehingga kita akan mencoba untuk mengulangi masa keemasan itu kembali nantinya oleh generasi ummat Islam saat ini.

B. RUMUSAN MASALAH 
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?
2.      Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
3.      Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah ?
4.      Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani  Abbasiyah ?
5.      Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
C. TUJUAN
1.      Menjelaskan bagaimana berdirinya Bani Abbasiyah, sehingga berhasil menguasai ke khalifahan yang sebelumnya di pegang oleh Bani Umayyah.
2.      Mendeskripsikan masa kekuasaan Bani Abbasiyah dalam megelola pemerintahan.
3.      Mendeskripsikan kemajuan-kemajuan yang diperoleh saat Bani Abbasiyah memengang ke khalifahan, baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
4.      Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiayah.
5.      Menjelaskan bagaimana akhir dari masa kekuasaan Bani Abbasiayah.


BAB II
ISI
Peradaban Islam pada masa Dinasti Bani Abbasiyah
A. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.[1]
Kelahiran bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh golongan syi’ah terhadap pemerintahan  Bani Umayyah. Golongan Syi’ah  selama pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir  karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di Karbela.
Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi’ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali, ia telah di bai’ah oleh orang-orang syi’ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi’ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya  golongan ini memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi’ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungnan  masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.[2]


Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap :
·         Gerakan secara rahasia
Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
·         Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum
Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan. Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad.
Abul Abbas sangat beruntung, karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas untuk  menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh khalifah Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai’ah menjadi khalifah , dalam pidato pembiatan tersebut , ia antara lain mengatakan “saya berharap semoga pemerintahan kami  ( Bani Abbas ) akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk koufah, bukan intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah SWT. Hai penduduk koufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim ( Bani Umayyah ) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang berbahagia dan yang paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-saffah”. Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1)      Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
2)      Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung Bani  Abbas dalam menggulingkan Bani Umayyah
3)      Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman bagi pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur (754-775 M ) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang baru.[3]

B. Masa kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
·         Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
·         Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
·         Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M
·         Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M.[4]

1)      Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2)      Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3)      Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)
4)      Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.[5]


C. Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis para khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan Filsafat dan ilmu pengetahan dalam Islam.
Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok dinasti Abbasiyah dengan dinasti Umayyah.
Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a.       Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b.      Gerakan penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[6]
Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya, Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru ke Baghdad. Salah satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan tersebut adalah didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya membawa kertas dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan perkembangan Universitas Islam.


Pabrik kertas ini memicu pesatnya penyalinan dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di Jerman. Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran non-formal.[7]
Popularitas Bani Abbasiyah ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah Al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan faramasi didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter, selain itu pemandian-pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara  terkuat dan tak tertandingi.[8]
Adapun ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiayah adalah sebagai berikut :
v  Ilmu Kedokteran
Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran[9]. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter terkenal diantaranya sebagai berikut
·         Hunain Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
·         Ar-Razi (809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya dbidang ilmu kedokteran adalah Al-Ahwi.
·         Ibnu Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
·         Ibnu Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar. Dll[10]

v  Ilmu tafsir
Pada masa ini muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir Bir ra’yi, aliran yang pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang kedua lebih menekan pada logika ( rasio ) dan Nash. Diantara ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karangannya jami’ al-bayan fi tafsir Al-Qur’an, Al-Baidhawi dengan karangannya Ma’alim al-tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanya al-kassyaf, Ar-Razi(865-925 M) dengan karangannya al-Tafsir al-Kabir, dan lain-lainnya.
v  Ilmu Hadist
Pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan ilmu hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa inilah muncul ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara yang terkenal ialah Imam Bukhari             (W.256 H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadist dan setelah diteliti terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim, buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan Abu Daud oleh Abu Daud ( W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh imam Al-Turmizi(W.287 H) Sunan Al-Nasa’i oleh Al-Nasa’i ( W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275 H) keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub Al-Sittah.
v  Ilmu Kalam
Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan pada masa Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar Ilmu Fiqh. Ilmu ini disusun oleh ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih besar pengaruhnya sampai sekarang, Diakalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal jamaah. Muncul Imam Abu Hanifah(810-150 H) yang lebih cendrung memakai akal (rasio) dan Ijtihad, Imam Malik Bin Anas (93-179 H) yang lebih cendrung memakai hadist dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian Rasio, Imam Syafi’i (150-204 H) yang berusaha mengkompromikan aliran Ahl al-Ra’yi, dengan Ahl al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad bin Hambal(164-241 H) yang merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan kurang luwes dari aliran-aliaran fiqh yang lainnya. Buku karang mereka masih dapat kita temukan sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-ummal-risalah, dan sebagainya.
v  Ilmu Tashawuf
Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya’ Al-Din, yang terdiri dari lima jilid.  Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin,          Al-Thusi menulis buku al-lam’u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465 H) dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il’m al-Tashawuf.[11]
v  Ilmu Matematika
Terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.[12]
v  Ilmu Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami’ al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
Dan masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini terlihat bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan Universitas Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu melampaui Universitas di Eropa. Mereke mempunyai Fakultas-fakultas yang sempurna, mahaguru digaji berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Mahaguru mendapatkan satu dinar emas setiap bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000 Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa boleh makan ke dapur umum Mahasiswa dengan Cuma-Cuma, sebuah perpustakaan besar terdapat dalam Universitas itu. Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin buku-buku atau ingin menyusun buku baru, ada sebuah kantor yang mengurus persediaan kertas, pena dan tinta untuk keperluan itu. Disamping Universitas dibangun sebuah rumah sakit untuk mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah yang menyebabakan berbagai Universitas di Eropa mengambil contoh pada Universitas Mustansiriah itu.[13]

D. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah
Menurut W. Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah adalah :
1.      Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa dan pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[14]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbasiayah Adalah :
1.      Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah, keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk berkusa telah dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2.      Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan Kemunduran dibidang Politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami periode kemunduran , pendapatan negara menurun, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3.      Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode Abbasiyah , konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi perpecahan. Berbagai Aliran keagaam seperti Mu’tazillah, Syi’ah, Ahlus sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4.      Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal ummat Islam. Pernag salib yang terjadi beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian Bani Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
5.      Serangan Bangsa Mongol
Serangan tentara mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuasaan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.[15]

E. Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay Khan yang berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran kepada  Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir Al-Mu’tashim billah untuk bekerja sama menghancurkan gerakan Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan september 1257 M, Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan, dan mengadakan penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah untuk menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.[16]
Pada waktu penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sunagi Tigris sehingga berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.[17]


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini  banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
Namun diakhir pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah, Islam mengalami keterpurukan yang sangat parah. Hal ini disebabkan dari serangan tentara Mongol yang telah mengahncurkan pusat peradaban Ummat Islam di Baghdad dan mengahancurkan Pusat ilmu pengetahuan yaitu Baitul Hikmah, yang berisi buku-buku karangan pakar ilmu ummat Islam yang tak ternilai harganya.


DAFTAR PUSTAKA
·         Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009
·         Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II,  Padang : IAIN-IB Press, 2001
·         Dra. Hj. Ismail, Chadijah, sejarah pendidikan Islam, Padang : IAIN-IB Press, 1999
·         Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009
·         Dr. Yatim,Badri, M. A, Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993



[1] Drs. Samsul Munir Amin, M.A, sejarah peradaban islam ( Jakarta : Amzah, 2009) hal 138
[2] Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, M. Ag, sejarah peradaban islam jilid II ( Padang : IAIN-IB Press, 2001 ) hal 1
[3] Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hal 4-8
[4] Drs. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 141
[5] N. Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam (Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)
[6] Drs. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 145-146
[7] Dra. Hj. Chadijah Ismail,sejarah pendidikan Islam ( Padang : IAIN-IB Press,1999) hal 41
[8] Dr. Badri Yatim, op.cit, hal 52-53
[9] Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hal 25
[10] N. Abbas Wahid dan Suratno, op.cit, hal 50
[11] Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hal 20-24
[12] Drs. Samsul Munir Amin, op.cit, hal 150-151
[13] Dra. Hj. Chadijah Ismail, op.cit, hal 45-46
[14] Drs. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 155
[15] Dr. Badri Yatim, M. A, op.cit, hal 80-85
[16] Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, M. Ag, op.cit, hal 59- 60
[17] Dr. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 156-157
Diposkan oleh SYAIFUL ANWAR SIMAMORA di 03.52



Read More >>
THIS IS FEATURED POST 1 TITLE

THIS IS FEATURED POST 1 TITLE

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam

Quas molestias excepturi
THIS IS FEATURED POST 2 TITLE

THIS IS FEATURED POST 2 TITLE

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam

Impedit quo minus id
THIS IS FEATURED POST 3 TITLE

THIS IS FEATURED POST 3 TITLE

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam

Voluptates repudiandae kon
THIS IS FEATURED POST 4 TITLE

THIS IS FEATURED POST 4 TITLE

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam

Mauris euismod rhoncus tortor