Comments

BAB II
PEMBAHASAN
A.    RIWAYAT HIDUP K.H.HASYIM ASY’ARI
K.H. Hasyim Asy’ari merupakan salah seorang sosok yang tumbuh dewasa dan menghabiskan waktu hidupnya di pondok pesantren. Pendidikan pesantren yang begitu telah khas yang membesarkannya menjadi sosok alim dalam hal keagamaan, juga mempunyai concern terhadap pemberdayaan umat
K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari selasa kliwon tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M. kutipan (Solikah; 2012; 73) dari kitab Adab A’lim Wa Muta’allim karangan K.H. Hasyim Asy’ari.
Berdasarkan kutipan (Samsul Nizar; 2011; 335) dari Kitab Adab A’lim Wa Muta’allimkarangan K.H. Hasyim Asy’ari bahwa nama lengkap Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim yang mempunyai gelar pengeran Bona bin Abdur Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijaya bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishal dari Raden Ainul Yakin yang disebut dengan Sunan Giri.
Adapun guru pertama K.H. Hasyim Asy’ari adalah ayahnya sendiri. beliaulah  yang mengajar dan mendidiknya dengan tekun sehingga hasyim asy’ari dapat membaca al-qur’an dan literatur-literatur  islam lainnya. setelah mulai mahir membaca al-qur’an baru beliau di masukkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu pesantren. Pada awalnya, ia menjadi santri di Pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian pindah ke Pesantren Langitan,Tuban.  Dari pondok inilah santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke Bangkalan, yaitu di sebuah pesantren yang diasuh oleh Kyai Kholil. Terakhir-sebelum belajar ke makkah- ia sempat nyantri di Pesantren Sewalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren ini yang terakhir inilah ia diambil sebagai menantu oleh Kyai Ya’kub, pengasuh pesantren tersebut.
Sebagaimana santri pada umumnya, K.H. Hasyim Asy’ari senang belajar di pesantren sejak masih belia. Sebelum umur delapan tahun Kiai Usman sangat memperhatikannya. Kemuadian pada tahun 1876 ia meninggalkan kakeknya tercinta dan memulai pelajarannya yang baru di pesantren orang tuanya sendiri di Desa Keras, tepatnya di bagian selatan Jombang.(Lathiful Khuluq ; 2000 ; 14-15)

Pada tahun 1892 K.H. Hasyim Asy’ari menikah dengan khadijah, putri Kyai Ya’kub. Tidak berapa lama menikah beliau beserta istri dan mertuanya berangkat haji ke Makkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Akan tetapi, setelah istrinya meninggal setelah melahirkan, disusul kemudian putranya, menyebabkannya kembali lagi ke tanah air. Tidak berapa lama kemudian, ia berangkat lagi ke tanah suci, tidak hanya untuk menuniakan ibadah haji, tetapi juga untuk belajar kepada beberapa ulama terkenal seperti Syekh Ahmad Amin Al-aththar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan Al-aththar, Syekh Sayyid Yamay, Sayyid Alawi bin Ahmad Al-saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah Az-zawawy, Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Setelah lebih kurang tujuh tahun belajar di Makkah, pada tahun 1899/1900, ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, Pesantren Tebu Ireng, pada tanggal 6 Februari 1906. Dari pesantren inilah banyak timbul ulama-ulama untuk wilayah jawa dan sekitarnya.
Pada awal karir, K.H. Hasyim Asy’ari bukanlah seorang aktivis politik juga dan bukan musuh utama penjajahan belanda. Beliau ketika itu belum peduli untuk menyebarkan ide-ide politik dan umumnya tidak keberatan dengan kebijakan belanda selama tidak membahayakan keberlangsungan ajaran-ajaran islam. Dalam kaitan ini, beliau tidaklah seperti H.O.S. Cokroaminoto dan Haji Agus Salim, pemimpin utama syarikat islam, atau Ir. Soekarno, pendiri Partai Nasional Indonesia dan kemudian menjadi presiden pertama Indonesia, yang memvokuskan diri pada isu-isu politik dan bergerak terbuka selama beberapa tahun untuk kemerdekaan Indonesia. Meskipun demikian, K.H. Hasyim Asy’ari dapat dianggap sebagia pemimpin bagi sejumlah tokoh politik dan sebagai tokoh pendiri Nahdlatu Ulama’
Masyarakat colonial adalah masyarakat yang serba eksploratif dan disriminatif yang dilakukan penjajah melalui dominasi politik. Factor pendukungnya adalah kristenisasi dan westrenisasi serta pembiaran terhadap adat tradisional yang menguntungkan penjajah. System colonial ini dipentaskan selam tiga setengah abad di Indonesia oleh bangsa barat. Perjuangan melawan kolonialisme telah dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak datangnya penjajah, demi kebebasan agama dan bangsanya. Pesantren dan ulama mempunyai peran besar dalam masalah ini, bahkan pesantren adalah pelopor perjuangan.(Tamyiz Burhanuddin; 2001; 26)
B.     KONSEP PENDIDIKAN  K.H. HASYIM ASY’ARI
1.      Urgensi pendidikan
Urgensi pendidikan terletak bagaimana memberi kontribusi pada masyarakat yang berbudaya dan beretika jadi tujuan mempelajari ilmu adalah untuk diamalkan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif, di mana beliau mengwali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat al-qur’an. Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengadung hikamah.dengan cara ini. K.H. Hasyim Asy’ari memberi pembaca agar menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Namun demikaian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan beliau.(Sarwo Imam Taufiq; 2008; 22).
K.H. Hasyim Asy’ari memaparkan tingginya penuntut ilmu dan ulama dengan mengenengahkan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al-mujdalah; 11)
Di tempat lain, K.H. Hasyim Asy’ari menggabungkan surah Al bayyinah yang berbunyi:
7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk.
8. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-bayyinah ; 7-8)
Premis dari ayat pertama menyatakan ulama adalah hamba yang takut kepada Allah SWT sedangkan pada ayat kedua menyatakan bahwa takut kepad Allah SWT adalah makluk yang terbaik. Kedua premis ini dapat dikongklusikan menjadi ulama merupakan makluk terbaik disisi Allah SWT.
2.      Tujuan pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Tujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah). rumusan ini secara implisit dapat terbaca dari beberapa hadits dan pendapat ulama yang dikutipnya. Beliau menyetir  sebuah hadits yang berbunyi: “diriwayatkan  dari Aisyah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda : kewajiban orang tua terhadapnya adalah membaguskan namanya, membaguskan ibu susuannya dan membaguskan etikanya”.(Sarwo Imam Taufiq; 2008; 26)
3.      Konsep dasar belajar
Kiai asyim tidak merumuskan definisi belajar secara kongkret dalam karyanya Adab ‘Alim Wa Al-Muta’allim. Untuk mendapatkan rumusan yang jelas tentang konsep belajar beliau, mau tidak mau harus menarik pengertian dari keseluruhan isi kitab, baru kemudian dicoba dirumuskan definisi tersebut. (Sarwo Imam Taufiq; 2008; 33)
Konsep dasar belajar menurut K.H. Hasyim Asya’ri sesungguhnya dapat ditelusuri melalui penjelasannya tentang etika seorang murid yang sedang belajar, etika seorang murid terhadap pelajarannya, dan etika seorang murid terhadap sumber belajar (kitab, buku). Dari tiga konsep etika tersebut dapat ditemukan gambaran yang cukup terang bagaiman konsep dan prinsip-prinsip belajar menurut beliau.
Kiai hasyim mengiventarisir terdapat sepuluh macam etika yang harus dicamkan seorang siswa dalam belajar, Berdasarkan kutipan Sarwo imam taufiq; 2008; 28) dari Kitab Adab A’lim Wa Muta’allim karangan K.H. Hasyim Asy’ari bahwa yaitu : (1) membersihkan hati dari berbagai sifat yang mengotori, seperti : iri, dengki, dendam serta akhlak dan akidah yang rusak.(2) meniatkan mencari ilmu semata-mata karena Allah SWT , untuk mengamalkannya, menghidupkan syari’atnya dan menyinari hatinya. (3) menyegerakan menuntut ilmu selagi kesempatan memungkinkan.(4) bersifat menerima terhadap pemberian tuhan. (5) membagi waktu dengan sebaik-baiknya. (6) menyedikitkan makan dan minum, karena kebanyakan makan menyebabkan kemalasan. (7) wara’ (8) menghindari makan yang dapat menimbulakan kemalasan dan mengurangi kecerdasan. (9) mengurangi tidur selama tidak membahayakan kesehatan. (10) menghindarai pergaulanyang tidak bermanfaat, terlebih lagi terhadap lawan jenis.
Konsep kedua: etika seorang murid ketika sedang belajar, K.H. Hasyim menginventariskannya menjadi tiga belas macam, yaitu: (1) mendahulukan mempelajari ilmu yang bersifat fardhu ‘ain. (2) memahami tafsir serta seluk beluknya.(3) berhati-hati dalam menyikapi persoalan yang masih menjadi perdebatan para ulama. (4) mendiskusikan atau mengkonsultasikan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya. (5)segera menyimak suatu ilmu, terutama hadist. (6) mempunyai motivasi yang tinggi untuk selalu menelalah ilmu dan tidak menunda-nundanya. (7) dekat dengan orang alim serta bersama-sama mengkajinya.(8) mengucapkan salam ketika memasuki suatu majelis ta’lim. (9) aktif bertanya (10) sportif dalam bertanya ketika banyak yang bertanya (11) hendaknya membacakan kitab dihadapan syekh atau guru, ketika snag guru sedang tidak sibuk. (12) memantapkan pemahaman (13) senang terhadap ilmu.
Konsep ketiga : etika seoarng murid terhadap sumber belajar (buku, kitab), kiai hasyim mengiventariskan menjadi lima macam etika, yaitu: (1) hendaknya murid memiliki buku yang diperlukan. (2) dianjurkan untuk meminjam buku kepada orang lain (saling percaya). (3) meletak buku pada tempatnya. (4) jika mau meminjam atau membeli, hendaklah teliti. (5) suci dari hadas ketika menela’ah buku
4.      Konsep dasar mengajar.
Konsep mengajar  K.H.  Hasyim Asy’ari dapat ditelusuri melalui penjelasannya tentang konsep etika yang harus dicamkan oleh seorang guru yang berkaitan dengan dirinya dan etika seorang guru terhadap pelajarannya.
K.H. Hasyim Asy’ari mengiventarisir terhadap 20 etika yang harus dicamkan seorang yang berkaitan dengan dirinya. Berdasarkan kutipan Sarwo Imam Taufiq; 2008; 32-33) dari KitabAdab A’lim Wa Muta’allim  karangan K.H. Hasyim Asy’ari .  Dua puluh macam etika itu adalah: 1. Selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT baik sendiri maupun bersama, 2. Selalu takut kepada Allah SWT dalam setiap gerak, 3. Bersikap tenang, 4. Wara’, 5. Tawadhu’, 6. Khusu’ dihadapan Allah SWT, 7. Mengadukan segala persoalan untuk meraih kesenagna duniawi, seperti kedudukan, kekayaan, keterkenalan keapada Allah SWT, 8. Tidak menjadikan ilmu sebagai tangga, 9. Tidak terlalu mengagungkan keduniaan, 10. Berlaku zuhud terhadap kedunian, 11. Menjauhi pekerjaan-pekerjaan hina, baik secara syar’I maupun adat yang berlaku, 12. Menjauhi perbuatan yang dapat merendahka martabat, sekalipun secara batin dapat dibenarkan, 13. Senantiasa menegakkan syari’at islam,menebarkan salam, dan amar ma’ruf nahi mungkar,14. Menghidupkan sunah, 15. Menjaga hal-hal yang di anjurkan dalam agama, membaca Al-qur;an baik dengan hati maupun lisan, 16. Berinteraksi social dengan etika yang luhur, 17. Membersihkan batin dan lahir dari etika-etika yang rendah dan mengisi dengan akhlak-akhlak yang luhur, 18. Senantiasa memperdalam ilmu dan mengamlakannya dengan sungguh-sungguh, 19. Rajin memperdalam kajian keilmuan, 20. Menyibukkan diri dengan membuat tulisan ilmiah dengan sesuai dengan bidangnya.
Konsep kedua adalah etika guru ketika hendak sedang mengajar. K.H. Hasyim Asya’ri menawarkan etika-etika itu antara lain, 1.bersih dari hadas kecil dan besar ketika memasuki ruangan prmbelajaran, 2. membaca doa ketiak hendak keluar rumahak,3. Ketika sampai di masjid memberikan salam kepada yang hadir dan duduk menghadap kiblat, jika memungkinkan dengan teang, tawadhu; dan khusu’ dan tidak mengeluarkan gerakan-gerakan yang tidak perlu, tidak mengejar ketika sedang lapar,haus,sangat sedih,marah, atau sedang kantuk,4. Duduk di tengah para hadirin dengan hormat,  kata yang menyenangkan atau menunjukkan rasa senang dan tidak sombong, 5. Melalui pelajaran dengan membaca sebagian ayat Al-qur’an untuk meminta berkah dari-nya, membaca ta’awudz, basmalah,puji-pujian dan shalawat atas nabi, 6. Mendahulukan pengajaran materi-,ateri yang menjadi prioritas, tidakmemperlama atau memperpendek dalam mengajar, tidak berbicara di luar materi yang sedang dibicarakan,7.Tidak meninggikan suara diluar yang dibutuhkan,8. Menjaga ruangan belajar agar tidak gaduh, 9. Mengingat para hadirin akan tujuan mereka dating ke tempat itu semata-mata ikhlas kareana allah, 10. Menegur murid yang tidak mengindahkan etika-etika ketika sedang belajar  , seperti bervicara dengan teman, tidur dan tertawa, 11. Berkata jujur akan ketidaktahuannya ketika ditanya akan suatu persoalan dan ia betuk-betul belum tahu, sehingga tidak muncul jawabab yang menyesatkan, 12. Memberi kesempatan kepada peserta didik yang datang terlamabat dan mengulangi penjelasan agar tahu yang dimaksud, 13. Menutup pelajaran dengan do’a penutup majlis.
5.      Relasi pendidik dan peserta didik
Untuk memahami konsep relasi pendidik dan peserta didik dari  K.H. Hasyim Asy’ari, terlebih dahuli perlu dipaparkan bagaimana konsep beliau tentang etika seorang murid terhadap guru dan etika guru tethadap muridnya. Dari dua konsep etika itu, dapat dipahami bagiamana relasi antara keduanya terjalin.
Kiai hasyim mengiventarisir terhadap dua belas macam etika yang harus dipedomani seorang siswa ketika berhadapan dengan guru, yaitu: (1) hendaknya menjadi pedoman seorang murid agar meneliti dahulu dengan meminta petunjuk kepada Allah SWT siapa guru yang akan mendidknya dengan mempertimbangkan akhlak dan etikanya.
Gurunya yang baik adalah cakap dan professional, kasih sayang, berwibawa, menjaga diri dari hal-hal yang dapat merendahkan martabat, berkarya, pandai mengajar, dan berwawasan luas, (2) memilah guru yang betul-betul mampu dan diakui kapasitas keilmuannya,(3) menurut dan tidak membentak guru seperti halnya orang sakit yang harus menurut kepada dokter yang ahli, (4)menghormati guru dan berkeyakinan bahwa seorang guru memiliki derajat kesempurnaan,(5) mengetahui kewajiban yang harus ditunaikan pada gurunya dan mendo’akan semasa hidup dan wafatbnya. (6) bersabar terhadap kekerasan guru atau keburukan akhlaknya serasa tetap menggauli dan tetap berkeyakinan bahwa sang guru masih memiliki derajat kesempurnaan, (7) tidak menghadap guru kecuali jika diijinkan, (8) duduk di depan guru dengan sopan, (9) bertutur kata yang bagus, (10) tidak sok tahu, meskipun apa yang disampaikan guru itu sudah tahu, (11) tidak mendahului guru menjelaskan suatu persoalan atau menjawab pertanyaan dan memotong pembicaraan guru ketika sedang menjelaskan, (12) menerima atau member sesuatu kepada guru dengan tangan kanan.
Sedangkan etika seorang guru terhadap muridnya, kiai hasyim mengivintarisir terhadap empat belas macam, yaitu: (1) meniatkan mengajar semata-mata karena allah, untuk menyebarkan ilmu dan menghidupkan syari’at islam, (2) menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniaan, (3) mencintai murid-murinya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, (4) mengajar dengan metode yang mudah dipahami para muridnya, (5) menjelaskan materi pelajaran dengan sejelas-jelasnya, kalau perlu diulang sampai murid betul-betul paham, (6) tidak membebani murid di luar kemampuannya yang dapat menyebabkan dia merasa tertekan, (7) sesekali meminta murid untuk mengulangi hafalan atau pelajaran yang telah lalu, (8) tidak bersikap pilih kasih, meskipun terhadap murid yang memilki kelebihan sekalipun. Guru cukup memberikan respek kepada murid yang memiliki kelebihan tanpa mengistimewakannya di antara murid yang lainnya, (9) selalu memperhatikan adsensi presentasi murid, mengetahui nama-namanya, dan lain-lain, (10) hendaknya guru memililki perangai yang baik. Seperti selalu menebarkan salam. Bertutur kata yang lembut dan santun, (11) membantu siswa mengatasi kesulitan, baik dengan pengaruh maupun dengan hartanya, (12) jika terdapat siswa yang absen, atau justru jumlahnya bertambah dari kebiasaan, maka hendaknya diklasifikasikan keberadaan dan keadaanya, (13) mempunyai sikap tawadhu’ tehadap muridnya, dan (14) berbicara kepada muruidnya yang memiliki kelebihan, memanggil mereka dengan sebutan yang baik, menunjukkan sikap yang ramah ketika bertemu dengan muridnya, menghormati ketika seorang murid duduk bersamanya, dan menjawab pertanyaan dengan senang hati dan memuaskan
Kedua belas macam etika tersebut kalau ditelaah lebih dalam, sesungguhnya dapat diserhanakan menjadi tiga hal. Pertama, seorang murid harus mencari dan memiih guru  yang betul-betul memilih kualifikasi sebagai seorang guru. Kedua, hendaknya mempunyai keyakinan bahwa seorang guru memiliki derajat kesempurnaan dan tidak pernah luntur sekalipun meski diketahui guru tersebut memiliki perangai (akhlak) yang kurang baik. Ketiga, hendaknya seorang murid selalu menghormati guru dalam situasi yang bagiamanapun. Suatu penghormatan semata-mata dilakukan karena ilmu yang dimilki guru tersebut.
Dua rumusan di ats dikutip secara agak lengkap dengan maksud untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana relasi pendidik dan peserta didik terjalin dengan baik. Dan dari rumusan di ats juga tergambarkan bahawa hubungan pendidik dan peserta didik dibangun atas dasar penghormatan yang besar dari murid dan cinta kasih yang tulus dari seorang guru. Sehingga hubungan diantara kedunya bagaikan hubungan seorang bapak kandung dan anaknya. Di samping menaruh perhatian besar pada hubungan guru dan murid, pembelajaran harus dilaksanakan secara professional, K.H. Hasyim Asy’ari tampak juga menekankan pada pentingnya pembimbingan terhadap anak didik. Sehingga guru adalah sosok pengajar yang profesioanal dan pembimbing bagi siswa dalam menghadapi persoalan-persoalan.
C.     PERBANDINGAN  PEMIKIRAN  K.H. HASYIM ASY’ARI  DENGAN BEBERAPA PEMIKIR KEPENDIDIKAN  LAINNYA
Dalam dunia pendidikan banyak sekali terjadi persamaan pendapat dan perbedaan pendapat khususnya dalam hal konsep pendidikan. Dalam pemikiran pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari lebih focus kepada persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Beliau berpendapat bahwa bagi seorang yang akan mencari ilmu pengetahuan atau menyebarkan ilmu pengetahuan, yang pertama harus ada pada diri mereka adalah semata-mata untuk mencari ridho Allah swt. ( Kholid Mawardi ; 2008 ; 2)
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.( Samsul Nizar; 2002; 100)
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Sedangkan Pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlaq. Untuk kedua masalah ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Konsep Manusia yaitu Sebagaimana para filosof lainnya ibn miskawaih memandang manusia sebagai mahluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya yaitu: (1) Daya bernafsu sebagai daya terendah, (2) Daya berani sebagai daya pertengahan (3) Daya berfikir sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda.( Nata. Abudin; 2003; 6-7) dan konsep Akhlaq menurut konsep Ibnu Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.
Dalam  Hal ini juga , Konsep pendidikan Muhammad Abduh ialah konsep pendidikan yang lebih di latar belakangi faktor situasi sosial ke agamaan dan situasi pendidikan islam yang sedang mengalami kemunduran baik di bidang ilmu pengetahuan dan bidang ke agamaan.( http://www. konsep-pendidikan-dalam-perspektif.html)
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi membagi lima (5) azas yang menjadi sasaran tujuan pendidikan Islam,  antara lain: pertama ,Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan atau tujuan vokasional dan professional. Keempat, Menumbuhkan roh ilmiah (scientific sprint) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan peserta didik mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu.Kelima, Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu.
Sedangkan Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a. Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT
b. Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat
Pendapat Al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia.
Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia di dunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Imam Al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.(Yusran ; 1996)
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘Irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etika bagi mereka yang sudah matang.
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita. (Yusran ; 1996)
D.    KARYA K.H. HASYIM ASY’ARI
Tidak diragukan kagi bahwa  K.H Hasyim Asy’ari merupakan seorang alim ulama yang sangat termashur di Indonesia khususnya di pulau jawa. Beliau merupakan salah seorang tokoh panutan ulama-ulama nusantara khususnya bagi kader-kader organisasi nahdatul ulama.(Musarmadan;2006; 21)
Berdasarkan dari skipsi ilmiah musarmadan bahwa ada sekitar sepuluh karangan beliau semasa masih hidup adalah :
1.      Adab ’Alim wa Muta’allim, yaitu kitab yang membahsa tentang tata cara belajar dari tinjauan akhlak
2.      Ziyadah at-Ta’uqat, yaitu kitab yang menjawab terhadap syair syekh Abdullah bin yasin , pasuruan yang menghina NU
3.      At-tanbihat al-Wajibat Liman Yansa al-Maulid bil Munkarat, yaitu  kitab tentang peringatan-peringatan bagi orang yang berbuat kemungkaran pada acara maulud
4.      Risalah al-Jama’ah, yaitu kitab tentang  keadaan orang mati, tanda-tanda kiamat dan penjelasan tentang suanh dan bid’ah
5.      An-nur al-Mubin  fil Mahabbah Sayyid al-Mursalin, yaitu  kiatab tentang mencintai rasullah saw serta mengikuti suanah beliau.
6.      Hasyi’ah ala Fathi Rohman bi Syarh Risalah al Wali li  Syekh Zakariya al-Ansori, yaitu kitab syarah dari karang Syekh Zakariya al-Ansori
7.      Ad-duror al-Munqotirah fi Masail Tis’a Asyaro, yaitu kitab tentang uraian tariqat, wilayah dan hal-hal yang berhubungan masalah pokok pengikut tereqat
8.      At-tobyan fi Nahy al-Muqatiati al Arkam wa az-Zarib wal Ikhwan, yaitu kitabtentang pentingnya menyambung persaudaran dan bahaya memutuskan persaudaraan
9.      Ar-risalah at-Tauhidiyah, yaitu kitab tentang tauhid
10.  Al-qalail fi Bayani Ma Wajibu min al Aqoid, yaitu kitab tentang kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan dalam akidah

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan menurut K.H. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab ’Alim Wa Muta’allim berdasarkan kutipan Sarwo Imam Taufiq dari Kitab induknya yaitu meliputi :
a.       Tujuan pendidikan yaitu untuk mewujudkan masyarakat beretika, titik tekan pada moralitas itu tampak mendominasi di berbagai tempat dalam karyanya.
b.      Konsep dasar belajar yaitu mengembangkan seluruh potensi jasmani dan rohani untuk pelajar, menghayati, menguasai dan mengamalkan secara benar ilmu-ilmu yang dtuntut untuk keperluan dunia dan agama.
c.       Konsep dasar mengajar yaitu ada beberapa hal etika yang harus dilakukan guru dianataranya : mendekatkan diri kepada Allah, bersikap tenang, wara/ tawadhu, khusu; mengadukan segala persoalan kepada allah, bersikap zuhud, dan rajin memperdalam kajian keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin , Tamyiz , Akhlak Pesantren: Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
Ittaqo Press, 2001) 
Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003)
Lathiful, Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari,(Yogyakarta:LKis, 2000)
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996
Mawardi , Kholid , Jurnal  Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas  Pemikiran Pendidikan  K. H. Hasyim asy’ari. (Yogyakarta : Insania , 2008)
Musrmadan, Skipsi:  Akhlak Guru Dan Murid Menurut Kiai Hasyim Asy’ari, (Tidak Ada Penerbit , 2006)
Solikah,  Tesis: Pendidikan Karakter  Menurut  K.H. Hasyim asy”ari Dalam Kitab Adab A’lim Wa Mutaalim, (Malang : Tidak ada penerbit , 2012)


Sarwo Imam Taufiq,  Skipsi : Konsep Pendidikan K.H. Hasyim asy’ari Dalam Kitab Adab A’lim Wa Mutaallim Dalam Perspektif Progresivisme, (Semarang: Tidak ada Penerbit , 2008)

Related Post :